Wednesday, February 12, 2014

Cerpen : Putri Lumpuh dan Datuk Kaya

Namaku Fatimah, hari ini aku sangat sedih. Sedih sekali. Entah kenapa perasaan ini begitu menghantuiku. Tidurku menjadi tak lelap, makan tak kenyang, mandi pun serasa tak basah. Aku memikirkan suamiku yang sudah semingu ini tidak pulang. Katanya pergi ke Binjai, untuk bersemedi mencari petunjuk dari Yang Maha Kuasa.  Binjai merupakan daerah dekat segeram, tempat pertama kali aku menginjakkan kaki di Pulau Bunguran ini. Binjai sudah menjadi tempat langganan suamiku bermeditasi, hanya sekedar untuk menenangkan diri. Namun kali ini berbeda. Ia tak kunjung pulang. Bahkan saat ia pergi  tidak satu pun menteri yang boleh mengikutinya. Kini Aku sudah berbadan dua setelah satu tahun kami menikah. Hal ini menambah rasa sedihku, Usia kehamilan yang sudah delapan bulan. Tinggal satu bulan lagi Aku akan menimang seorang bayi.
“Ohh Megat, Aku merindukanmu. Kini telah tujuh hari engkau tak pulang kerumah” rintihku.
***
Terlahir sebagai putri kerajaan, Aku sangat bahagia. Namun dengan nikmat yang Tuhan berikan kepadaku, membuat Ayahanda mengusirku dari  istana. Aku tak bisa menggerakan sedikitpun anggota tubuh bagian bawahku. Untuk berpindah dari satu tempat ketempat lain Aku harus ditandu oleh menteri dan dayang-dayang yang setia mengikutiku. Alasan Ayah mengusirku, karena malu memiliki putri yang cacat. Dia begitu tersohor ke seluruh Nusantara.
“Apa kata orang jika mengetahui penerusku hanyalah seorang putrid yang lumpuh.” begitu kata Ayah kepadaku,  tanpa memikirkan bagaimana perasaan Aku sebagai anaknya.
Ibu tidak dapat mencegah niat Ayah untuk mengusirku dari istana. Segala persiapan dan perbekalan sudah Ayah siapkan demi penghidupanku di daerah tujuan. Ada sedikit rasa sayang Ayah kepadaku, hanya saja rasa malunya yang mengalahkan kasih saying itu kepadaku. Aku dibekali sebuah mahkota berwarna kuning emas. Harapan Ayah, Aku dapat membangun kerajaan didaerah tujuan nantinya. Rombongan kami berjumlah empat puluh orang terdiri dari dayang dan para menteri. mengarungi samudra dari johor menuju sebuah pulau yang dulunya pernah dikunjungi Raja Kertanegara (Raja majapahit), menaiki tujuh buah perahu yang di sumbangkan ayah. Pulau itu dinamakan pulau serindit oleh Raja kertanegara, sebab saat Ia berkelana ke pulau itu didapati banyak burung serindit yang bertenggeran di pepohonan dekat sungai yang mereka singgahi.
Setelah beberapa hari beradu dengan ombak, merapatlah rombonganku ketepian dekat pantai. kami telah berada di pulau sabang mawang yang merupakan bagian dari pulau serindit. Pulau serindit yang terdiri dari berbagai pulau, tersebar dan dikelilingi lautan. Jaraknya sangat berdekatan, namun harus menggunakan kereta air untuk menggapainya. Didaerah ini tidak berpenghuni, hanya ditemani hewan dan hutan yang hijau merona. Kami menetap di daerah ini, berhari-hari bermukim, timbul niat para dayang dan menteri untuk mencarikan suami untukku, Aku akan dijodohkan dengan salah seorang menteri yang ada dirombongan. Aku setuju. Akupun sudah menjadi wanita yang siap untuk dinikahi, namun mereka tetap menyadari Aku hanyalah putri lumpuh yang diusir ayahnya dari kerajaan. Namun hal itu tidak mengurung niat mereka, Aku dijodohkan dengan menteri tertua dalam rombongan.
***
Pagi ini, Aku dan menteri siap untuk dinikahkan. Tidak ada pesta, dekorasi bahkan makan-makan. Aku tidak berhias atau didandan, seperti pengantin umumnya. Suasana tidak semeriah pesta di istanaku, seandaninya aku menikah disana. Kami hanya berkumpul dalam rumah yang sederhana, terbuat dari susunan kayu alam. Aku masih didalam kamar, menunggu sang menteri yang sebagai penghulu kami memanggilku untuk keluar. Kemudian seorang dayang dengan tergesa-gesa menghampiriku dalam kamar.
“ Engku, engku”. Dayang bersorak menuju kearahku. Panggilan engku khusus untuk wanita dari kesultanan Ayahku. Sultan di Johor.
“Ada apa, dayang?” tanyaku.
“Sang menteri, sang menteri itu.”
“Sang menteri kenapa?” aku terheran melihat dayang yang begitu tergopoh-gopoh pagi itu. Tidak biasanya kejadian begini terjadi selama perjalanan kami.
“Menteri ditemukan mengapung di tepi pantai, engku.” Jawabnya. Setelah bersusah payah menyebutkan informasi itu kepadaku. Para menteri yang berada didekatku langsung menanduku menuju keluar kamar. Diluar sudah tergelatak mayat sang menteri yang semalam dijodohkan kepadaku. “Ya tuhan, pertanda apa ini?” batinku.
Semingu berlalu, kejadian itu sudah menjadi kisah masa lalu bagi kami. Mereka kembali mencarikan calon suami untukku, namun berkali-kaipun. Selalu saja calon itu meninggal dunia sebelum menikahiku. Berbagai macam cara mereka tewas, entah apa penyebabnya? Tidak satupun dari kami yang mengetahui asal masalahnya. Ada yang mati tenggelam, menghilang dihutan, tergeletak didalam kamar, ada yang tiba-tiba sakit perut dan kemudian nyawanya lenyap dan ada pula yang mati  setelah menjamu makan malam.
Dengan kejadian aneh ini, kami pun berkesimpulan berpindah lokasi. kembali mengarungi lautan mencari wilayah yang cocok untuk membangun kerajaan. Ditempat itu bukan tempat yang diberkahiNya, jangankan untuk membangun kerajaan. Untuk mencari pangeran untuk sang putri saja tidak terkabulkan.
Kami kembali berkayuh. Beberapa hari berlalu di lautan, perahu-perahu kami memasuki sebuah sungai kecil di pulau serindit. Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Segeram.  Tidak ada satupun manusia yang kami temukan setiba kami disana , hanya beberapa hewan buas dan lautan hutan yang lebat dan hijau.
“ Engku, mari kita mencari tempat perteduhan untuk kita menetap di pulau ini.” Saran seoarng menteri kepadaku.
“ Lakukan sesuka kalian ditempat ini, Aku hanya bisa mengikuti kalian,” jawabku. Mereka membopongku menyelami hutan lebat itu, hingga kami sampai disebuah lokasi yang rindang. Mereka membangun gubuk untukku beserta para rombongan yang lainnya.
***
Seminggu sudah kami menetap. Pagi itu, para menteri menyusuri hutan untuk berburu. Mencari hewan untuk disantap, karena perbakalan yang disumbangkan Ayah sudah menipis dan hampir habis. Di hutan yang hijau nan lebat itu, pohon-pohon sangat besar menyerupai tower-tower masa kini, berdaun rindang. Binatang-binatang seperti kera, burung, jangkrik, riuh menyapa kami setiap harinya. Saat kami ingin melauk, kami menuju sungai atau meneruskan ke laut, Ikan-ikan di lautan juga sangat mudah didapat. Disbanding zaman ini yang sangat sulit sebab telah banyak terumbu karang yang telah rusak oleh ulah manusia yang tidak beradab. Di dekat pohon yang agak besar, para menteri menyapa seorang pria yang duduk bersandar dibawahnya.
“Ncik siapa?”. Tanya seorang menteri dengan seorang pria yang mereka temui di tengah hutan yang berjarak tiga kilometer dari pemukiman kami. Pria itu diam tanpa kata. Tubuhnya ditutupi bulu, mirip orang hutan, namun dia memiliki pakaian. Entak berapa tahun ia tidak mengganti pakaiannya, Nampak sangat lusuh. Dia bersandar disebuah pohon besar, Balau nama pohon itu. Ia masih terpaku melihat menteri yang mendatanginya.
Para menteri mengajaknya menuju pemukiman, dan ia diajarkan bahasa melayu serta diislamkan oleh para menteri. Dengan bahasa baru yang ia pelajari, ia dapat bercerita siapa dirinya dan dari mana asalnya. Dalam ceritanya, bahwa ia adalah hanyut ke pulau ini beberapa tahun yang lalu. Ia tidak tahu kenapa? Ia tidak dapat mengingat masa lalunya kala itu, yang diingatnya bahwa Ia hanyut menaiki sebuah buluh: bambu, terombang ambing dilautan dan merapat di sungai segaram, tempat yang kami jelajahi. Untuk mengidupi diri sejak kala itu, Ia hanya meminum air madu dari pohon balau tempat Ia berteduh sekalian pohon itu sebagai rumahnya. Oleh karena hanya meminum air madu setiap harinya, maka tubuhnya berbulu lebat. “Saya adalah orang pertama yang tinggal disini” ungkapnya didalam cerita panjangnya. Ia menyebut namanya Megat. Dari bahasa asalnya, ia sepertinya berbahasa siam dari Thailand. Namun entahlah, kebenarannya tidak begitu akurat.
****
Hubungan Aku dan Megatkian hari semakin dekat, sebab Ia selalu bersama kami dan tidak tinggal di pohon itu lagi. Lama kemudian, para menteri berniat kembali menjodohkanku. Dan calonnya kali ini ialah pria itu, Megat. Sepertinya yang kuasa sudah menuliskan aturan ini, Ia pun setuju tentang niat para menteri itu. Apalagi Aku, Aku sangat gembira ada seorang pria yang sudi menikahi perawan lumpuh sepertiku. Namun dalam kesenangan itu, Aku khawatir kejadian lama itu kembali terulang. “Apakah Megat juga akan mati?.” Aku bertanya dalam hatiku.
***
Kejadian seperti di pulau sabang mawang tidak terulang kembali, ini tandanya keberkahan telah merasuki perjalan kami ke pulau serindit. Aku dinikahkan dengan Megat. Karena Aku adalah seorang putri sultan maka di kampung baruku, sang pangeran kami beri gelar Datuk Kaya Dina Mahkota. Datuk kaya melambangkan seorang penguasa di pulau bunguran yang kekuasaannya sama dengan sultan, dina mahkota mengandung arti seorang putri yang sangat hina dina, dalam keadaan lumpuhnya, Ia juga diusir dari istana. Selepas menikahiku, Megat membangun sebuah punggur, bangunan rumah untukku, bangunan itu mirip lesehan rumah makan masa kini. Terbuat dari kayu yang diambilnya dari hutan, beratap daun sagu. Dengan adannya punggur ini, maka wilayah ini kami menyebutnya bunguran. Lebih lanjut turun temurun di sebut Pulau Bunguran.
Setahun kemudian, Aku mengandung anaknya dan memasuki usia kehamilan delapan bulan. Pagi itu, Megat meminta izin untuk pergi bersemedi, seperti yang biasa dilakukannya untuk menenangkan diri. Hari itu tidak seoarang pun menteri yang boleh ikut dengannya. Aku menyetujui kepergiaannya. Daerah tujuannya  disebut Binjai, tidak terlalu jauh dari Segeram, tempat kami bermukim. Pagi itu pula menjadi hari akhir Aku melihatnya, karena Ia tak pernah lagi kembali ke punggur. Entah kemana Ia menghilang bagai ditelan bumi. Ketika menteri menyusulnya dan setiba ditempat biasa Ia berdiam diri, hanya kekosongan yang mereka temukan. Oleh para menteri, tempat biasa Megat duduk bersila di letakkan sebuah batu agak besar sebagai tanda. Kemudian mereka kembali ke segeram.
 “Ohh Tuhan, apakah ini semua sudah kehendakmu. Diriku engkau karuniai lumpuh permanen, Ayah mengusirku dan para menteri telah banyak yang tewas sebelum menikahiku, kemudian setelah memenukan seorang lelaki yang mampu bertahan menikahiku, Ia malah menghilang entah kemana.”***
 
 
Cerpen Karangan: Siswari
Facebook: Siswari Senju (https://www.facebook.com/sis.wari.7?fref=ts)
SISWARI, kelahiran Sedanau, Natuna 1991. mahasiswa prodi Ekonomi SYariah di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Natuna 2010. Alumni SMA Negeri 1 Bunguran Timur angkatan 2009. memperkenalkan tanah melayu adalah cita-cita.