Monday, April 17, 2017

Kedai Angkringan Margomulyo, nuansa Jadoel ditengah Moderninsasi Malioboro

Mengenal Jogja tak hanya sebagai kota pendidikan saja. Daerah yang terletak di selatan-tengah pulau Jawa ini memiliki banyak julukan, salah satu julukan terkenal itu adalah kota kuliner. Hmmmm siapa yang tak kenal kuliner khas Jogja? Ada gudeg -yang bahkan sekarang ada kemasan kalengnya-, ada bakpia yang melegenda, dan tongkrongan rakyat yang the best, apalagi kalau bukan angkringan yang khas dengan nasi kucingnya. Sebagian orang mengatakan angkringan is the cheapest fastfood ever. Makanan sudah tersaji didalam gerobak dengan berbagai menu, kita tinggal mengambil sembari memesan minuman.
Kedai Angkringan Margomulyo dari luar.
Seiring perkembangan zaman, angkringan juga mengalami berbagai macam bentuk modifikasi, namun tidak menghilangkan esensi angkringan itu sendiri. Salah satunya adalah Kedai Angringan Margomulyo yang saya datangi ini. Saya baru kali ini nongkrong disini, dulu saat kuliah gak kepikiran banget mau nongkrong di tempat ini, heran juga kenapa. :D
Susasana di dalam cafe.
Kedai Angkringan Margomulyo tertelak di Malioboro, tepat di depan Pasar Tradisional Beringharjo, di samping Mirota Batik yang terkenal itu, gampang untuk menemukannya. Settingan kedai angkringan ini sudah dimodifikasi seperti café gaul gitu, namun gerobak angkringannya tetap ada sebagai khasnya angkringan, dalam kedainya pun masih tetap bernuansa vintage. Disamping gerobak juga ada gerobak lain, yaitu gerobak untuk barista yang disediakan untuk meracik kopi bagi anda yang ahli sruput. Hanya saja waktu saya kesana, gerobaknya sedang tutup, belum melayani penyajian kopi, -mungkin baristanya belum mandi-, atau mungkin bukanya hanya malam, soalnya saya pergi kesana itu di jam makan siang, ah mungkin mungkin barista nya yang belum mandi.
Berbagai pilihan menu.
Menu makanan yang disediakan di angkringan ini beragam, khas angkringan dengan sedikit tambahan-tambahan. Yang jelas, nasi kucing dan beragam gorengan serta sate-satean tetap ada disini. Disebut dengan nasi kucing karena ia bungkus dalam porsi kecil, seperti untuk memberi makan kucing, namun sekarang porsinya sudah mengikuti perkembangan kok, namanya tetap nasi kucing, -kucing hutan, atau kucing obesitas kali ya-. Minuman juga disajikan dalam beragam jenis. Dari minuman khas angkringan (wedang uwuh, teh poci, jahe, kopi) hingga aneka jus. Harga? Heeeeeeh, masih ngomongin harga kalau makan di Jogja? hhe
Takis, broooh!!!
Saya dan rekan mengambil nasi kucing tongseng pedas dan kikil sapi, ditambah dengan berbagai gorengan plus es teh yang rasanya -menurut saya- ngangenin banget. Sambil menyantap sambil mengamati uniknya cafe ini, ornamen-ornamen kuno dominan menghiasi, lampu-lampu jadul digantung -dipamerkan dan juga dijual dengan harga yang wau- di tiang tiang ruangan terdapat lampu hias, jam kuno dan juga dipajang topeng-topeng khas karakter pewayangan. Dan didinding-dinding terdapat gambar-gambar tokoh-tokoh Keraton Jogja, serta silsilah keluarga kerajaan.
Lampu dan jam antik menjadi pajangandi cafe.

Beragam foto tokoh-tokoh Kerajaan menjadi hiasan dinding cafe,
Salah satu hiasan dinding cafe, silsilah Kerajaan Jogja
Di sudut ruangan terdapat stand yang menjual barang-barang antik, mulai dari uang kertas dan logam, lampu hias, kerajinan keramik dan guci-guci tua, pernak-pernik perhiasan rumah, serta setrikaan sampai kipas angin kuno juga ada dijual disini. Benar-benar surga untuk para kolektor barang antik. Saya menyudahi makan dan berjalan sambil mengambil beberapa gambar untuk diabadikan. Ohya, ketinggalan, fasilitas cafe ini adanya toilet dan mushala yang terletak di belakang. Juga ada mini panggung yang digunakan musisi jalan untuk perform di depan. Setelah puas, kami melanjutkan pulang dan melanjutkan perjalanan.

Stand di sudut ruangan cafe, menjual barang-barang antik.

oks, see you....