Wednesday, November 22, 2017

Menikmati Deburan Ombak Selat Makassar di Pantai Ambalat

Mendengar nama Ambalat hal pertama kali yang terlintas adalah sebuah pulau di bagian utara Kalimantan yang menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia. Maklum, saat masih suka nonton berita hal itu sedang hangat-hangatnya jadi topik pemberitaan. Namun ternyata Ambalat juga merupakan nama suatu pantai tersembunyi yang berada di Kabupaten Kutai Kartanegara, tepatnya di Dusun Selok Batu, RT IV Kelurahan Amborawang Laut, Kecamatan Samboja. Berbatasan dengan kecamatan Balikpapan Timur, Kota Balikpapan. Pantai Ambalat itu sendiri merupakan akronim dari AMBorAwang LAuT, nama desa tempat pantai tersebut berada.

Meskipun termasuk wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, akses terdekat menuju pantai ini adalah dari Kota Balikpapan, dengan jarak sekitar 30 km dari pusat kota. Saya sudah lama ingin ke pantai ini sebenarnya, setelah sebelumnya googling tempat wisata disekitaran Balikpapan, namun belum juga menemukan waktu dan rekan yang bisa diajak jalan. Baru kemarin saya pergi ke pantai ini, bertepatan dengan acara HUT Indobarca Chapter Balikpapan yang kebetulan saya juga anggotanya. Itulah asyiknya berkumpul dalam banyak komunitas. Kali ini konsep ulang tahunnya adalah "camping" yang berarti saya dan rekan-rekan akan menginap disini. Yeaay! 😀
Camping ceria
Mengendarai kuda besi pinjaman, saya berangkat dari kost di Kariangau menuju jalan poros Balikpapan - Samboja. Membutuhkan waktu sekitar 90 menit berkendara dengan kecepatan rata-rata -agak ngebut dikit-. Kemudian dari jalan poros, ada jalan masuk menuju pantai dengan ditandai petunjuk arah bertuliskan "Pantai Ambalat : muter belakang", becanda denk, krik krik. Tulisannya gini : "Pantai Ambalat". Dari jalan poros menuju pantai lumayan jauh yaitu sekitar 7 km, jadi jangan sok-sokan untuk kesana jalan kaki ya, apalagi merangkak. Namun akses sudah mudah dengan jalan semenisasi hingga pantai. Masuk dari jalan poros menuju pantai, kita juga akan ditemani oleh suguhan suasana desa yang asri, rumah-rumah penduduk, sungai kecil, hingga pohon kelapa dan perkebunan waga menjadi pemandangan tenang yang menemani saat menuju pantai.
Fasilitas-fasilitas Pantai Ambalat
Sampai disana hari sudah petang mendekati senja, maklum saya berangkat agak telat setelah sebelumnya melaksanakan inspeksi di galangan kapal. Saat tiba disana, tenda-tenda sudah terpasang, lampu, spanduk-spanduk pelengkap acarapun sudah disiapkan, ternyata panitia sudah datang lebih awal untuk persiapkan segalanya. Good job, mate. Saya mengambil tempat dan memilih tenda didekat pantai, saya menikmati alunan deburan ombak yang menepi. Tak banyak yang bisa diekplor karena malam sudah akan tiba. Saya hanya mengambil gambar pantai berlatar belakang jingga sunset
Pohon pinus pantai Ambalat
Malamnya kami hanya berfokus pada acara yang diadakan komunitas, bakar-bakar ayam, ikan, makan-makan dan acara inti, serta ada juga nonton bareng Barcelona vs Leganes, menang 3 - 0 donk, lega. Malam itu pula hujan deras menemani acara kami, dan tidur di tenda masing-masing adalah hal yang bisa kami lakukan, sambil menunggu hujan reda. 
Ekosistem Bakau

Kegiatan hari minggu pagi seperti biasa, sarapan, permainan dan kuis serta penutupan. Disela-sela acara ini saya ambil kesempatan untuk eksplor-eksplor tempat ini, sambil mencari spot-spot foto yang bagus kan, lumayan untuk ngisi galeri dan upload ke instagram. Pantainya tergolong bersih dengan pasir berwarna coklat, jarang memang bisa menemukan pantai berpasir putih disini. Lautnya juga tenang, cocok untuk berenang. Pantai ini kurang mendapat "polesan" pemerintah, mungkin karena letaknya jauh dan tersembunyi kali ya, dan pantai menunggu tangan-tangan kreatif untuk mengambil gambar dan menceritakan akan amazingnya plesiran ketempat ini. Untuk masuk ke kawasan ini saya tidak dipungut biaya karena sudah dikoordinir oleh panitia. Namun menurut berbagai sumber yang saya baca, biaya retribusi masuk pantai ini kurang lebih Rp. 5.000 / sepeda motor, dan Rp. 15.000 / mobil. 
Pantai Ambalat saat surut
Saat siang, air laut menjadi surut dan pantai Ambalat seakan "timbul" menampakan wujudnya. Panjang pantai ini kurang lebih 2 km dengan lebar ketika surut adalah 60 sampai 100 meter. Saat surut ini yang dimanfaatkan oleh wisatawan untuk bermain-main di pantai. Saya mengambil sepeda motor pinjaman yang kemarin dan pergi menyusuri pantai, mengambil beberapa gambar untuk menemukan spot foto yang ajiiiiib.
Pantai ini dikelola secara sederhana oleh masyarakat setempat, adalah LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) Kelurahan Amborawang Laut yang mengelolanya dan bagian Keamanan dipercayakan pada Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Kelurahan Amborawang Laut. Meski dikelola secara sederhana, namun fasilitas-fasilitasnya juga tak kalah dengan pantai-pantai lain. Toilet dan tempat bilas tersedia dengan biaya mulai dari 2.000, ada juga mushala, gazebo-gazebo untuk bersantai, hingga villa semi permanen dan permanen milik warga.
Setiap unit disewakan dengan harga kisaran dari 500.000 / malam, dengan fasilitas standar seperti dapur berikut kompornya, ranjang plus kasur, juga tangki air layak konsumsi, serta listrik. Fasilitas lain adalah penyewaan ban pelampung bagi kamu kamu yang berenang dengan membawa anak kecil, juga dilengkapi dengan warung-warung pelengkap untuk mencicipi kuliner khas pantai Ambalat yaitu air kelapa segar + serutan kelapanya. Kelapa disini sangat banyak, bahkan diekspor hingga Balikpapan dan Samarinda.



 







Sumber :
http://kec-samboja.blogspot.co.id/p/pantai-ambalat-samboja.html
http://www.infolegit.com/2017/10/pantai-ambalat-balikpapan.html
http://godiscover.co.id/index.php/2016/04/08/pantai-ambalat/

Tuesday, November 21, 2017

Legenda Batu Kapal

Batu Kapal merupakan sebongkah batu granit besar menyerupai kapal yang terletak di Batu Kapal, Kecamatan Bunguran Timur, Natuna. Tidak sulit bagi anda untuk mencapai tempat ini, perjalanan bisa ditempuh dalam waktu 10 menit saja dengan berkendara dari kota Ranai. 
Batu Kapal, dok pribadi
Batu ini disebut dengan Batu Kapal karena bentuknya memang seperti sebuah Kapal besar yang terbelah dua yang sedang bertengger di pelabuhan. Ada beberapa cerita yang menceritakan tentang asal usul batu yang besar ini. Salah satunya adalah cerita yang kurang lebih mirip seperti cerita Malin Kundang dari Sumatera Barat.


Batu Kapal ini, konon pada saat dahulu kala adalah sebuah Kapal besar yang sarat akan muatan, pemilik kapal ini adalah seorang pemuda yang sombong serta seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya. Ketika sang pemuda sudah menjadi orang sukses dan kaya raya, namun sang Ibunda masih tetap hidup serba kekurangan.

Sang ibunda sudah lama menanti kepulangan anak tercintanya dari kampung seberang, akhirnya berita kepulangan anak sampai di telinga ibunda melalui kabar dari tetangga-tetangga. Sang Ibunda mendengar ada seorang pemuda kaya yang pulang untuk memaerkan harta kekayaannya.
Batu Kapal, via sinarpelangionline.com

Sang ibu pun langsung menuju ketempat dimana kapal berlabuh untuk melihat seorang anak yang lama sudah tak dijumpainya, rindu dalam dada seolah sirna ketika ia melihat putranya sudah menjadi orang yang sukses. Seketika itu pula ia berlalri dan ingin memeluk sang anak. Melihat ada seorang wanita tua renta yang datang dan ingin memeluknya, maka ia pun menepis tangan sang ibunda, bahkan sang pemuda menyangkal bahwa wanita tua renta tersebut bukanlah ibu yang telah melahirkannya. 

Dengan rasa malu yang teramat sangat untuk mengakui bahwa itu adalah ibu kandungnya, namun keangkuhan pemuda mengalahkan segalanya. Ia menghardik sang ibu serta mengusirnya dari kapal dengan cara menendangnya. Sontak seakan tak percaya, kerinduan bertahun-tahun seorang ibu dibalas dengan hardikan dan makian, serta tendangan dari anak kandungnya sendiri. Seketika itu pula, rindu berubah menjadi murka, lalu secara spontan sang ibu berdoa agar si pemuda mendapat bala dari Yang Maha Kuasa.
Batu Kapal tampak belakang, via www.tumblr.com
Seketika itu pula doa ibu diijabah oleh Tuhan, langit menghitam, disertai dengan badai dan gemuruh yang dahsyat. Angin topan mengamuk sehingga menerbangkan apa-apa yang ada disekitaran kapal. Gelombang meninggi menghempas kapal sang pemuda hingga terbelah menjadi dua. Sang pemuda karena takutnya berlari ke buritan kapal untuk menyelamatkan diri, namun terlambat. Kapal beserta isinya termasuk sang pemuda berubah menjadi batu. Hingga kini masyarakat menyebutnya Batu Kapal.

Dulu saat saya masih SD, guru saya menceritakan saat mereka kecil, jika mereka bermain di sekitaran Batu Kapal, banyak ditemukan manik-manik dan asesoris-asesoris perhiasan. Guru yang lain menceritakan, jika air sedang pasang, dan saat gelombang menghantam "buritan" di Batu Kapal itu, akan terdengar suara "bu, bu, bu" yang konon adalah suara sang pemuda memohon ampun kepada ibu nya.

Jauh dari lokasi Batu Kapal ini, terdapat Pulau Kemudi dan Pulau Jantai, tepatnya di kecamatan Bunguran Selatan. Konon cerita, ini adalah kemudi dan rantai kapal yang terpental karena dihantam oleh badai yang dahsyat saat "proses" kutukan terjadi.

Apapun itu, baik nyata maupun hanya cerita, kisah-kisah zaman dulu yang diceritakan oleh orang tua kita sangat sarat akan makna dan pesan moral, untuk membimbing kita menjadi lebih baik. :)

sumber :
http://sinarpelangionline.com