Monday, June 23, 2025

Dapoer Cik Milah Natuna, "Obat Piwang" Masakan Natuna di Batam

Bicara tentang kuliner memang tiada akan ada habisnya. Selalu ada hal baru yang datang dari dapur untuk disajikan di atas meja. Mulai dari tradisional hingga modern. Mulai dari resep turun temurun, hingga resep yang baru saja "turun". 

Hampir di semua tempat memiliki sajian khas. Entah itu di kampung, atau resepnya yang dibawa ikut merantau. Termasuk di Batam yang merupakan salah satu kota besar di Indonesia. Banyak pilihan kuliner yang bisa dicicipi. 

Kemarin saat sedang berada di Batam karena ada sesuatu hal yang harus dilakukan, tiba-tiba saya merasa piwang (rindu) dengan makanan kampung. Sempat bingung ingin kemana sebab secara masakan sebenarnya tak jauh beda dengan Natuna yang sama-sama Melayu. Namun tiba-tiba langsung teringat suatu tempat yang sering seliweran di beranda medsos saya: Dapoer Cik Milah Natuna.
Dapoer Cik Milah Natuna
Dapoer Cik Milah Natuna berlokasi di Tiban, tepatnya di Jalan Raya Tiban BTH, Komplek Ruko Golden Wealth Development blok C nomor 10. Tak sulit mencarinya, baik dengan cara konvensional, apalagi sekarang bisa dengan bantuan gugel mep.

Perjalanan ku mulai dari kawasan Nagoya dengan kuda besi bersama teman. Menurut pembacaan gugel mep, perjalanannya hanya memakan waktu 10an menit saja. Melewati jalan Gajah Mada, lalu belok kanan menuju jalan Tiban 1. Check pointnya adalah Supermarket Primart. Dapoer Cik Milah berada di deretan ruko belakang Supermarket Primart ini. Saat tiba kami langsung disambut dengan senyum ramah oleh owner yang kebetulan sedang duduk melayani pelanggan di luar.

Cik Milah merupakan nama pengelola warung ini. Ia mengelola warung ini bersama dengan keluarganya. Dapoer Cik Milah Natuna di Batam ini merupakan warung kedua, dan sekaligus cabang pertama yang dibuka di luar Natuna. Warung pertama yang berada di Natuna berlokasi di Jalan Hang Tuah, Kelurahan Ranai Kota. Dapoer Cik Milah Natuna yang di Batam ini beroperasi dari pukul 7 pagi hingga 2 sore setiap hari kecuali hari jumat.

Dianterin langsung

Warung makan ini menyediakan berbagai makanan khas Natuna mulai dari Bubur Lambuk, Nasi Dagang hingga Lontong Tauco. Selain menu utama yang disebutkan di atas, ada pilihan menu lain seperti berbagai tambul (makanan ringan) yakni Uti Gendong (roti goreng), Kernas, Lempar, dan Cuco Lemak. Juga tersedia beberapa tapok (semacam toping atau pelengkap makanan) seperti telur rebus, duyok (gurita) dan sambal bilis (sambal teri). Dan beberapa pilihan minuman, baik panas maupun dingin. Kami memesan beberapa makanan untuk jadi pengganjal perut hari ini. Nasi Dagang, Bubur Lambuk Komplit dan beberapa minuman. 

Tak menunggu terlalu lama, pesanan kami tiba. Pesanan diantar langsung oleh Wak Yal, abang dari Cik Milah. Ssstttt, fyi, Wak Yal ini adalah Wakil Bupati Natuna periode 2021-2025, Rodhial Huda namanya. Memang sebelum terjun ke dunia politik, beliau seorang nelayan dan enterpreneur. Jadi beliau kembali meneruskan passionnya ini. Nah tadi senyum ramah yang kami terima saat tiba di sini adalah senyum dari beliau, sebab Cik Milah sendiri saat itu sedang tidak berada di tempat.

Nasi Dagang nya benar-benar enak, dengan lauk sambal tempe dan telur, serta gulai ikan yang jadi pelengkap rasa. Benar-benar seperti makan di rumah. Bubur Lambuk-nya juga juara. Dan menurut Wak Yal, menu spesialnya adalah si Bubur Lambuk ini, karena resepnya merupakan resep temurun dari kedua orang tua beliau.
Bubur Lambuk dan Nasi Dagang
Minuman juga tak kalah segar, kami memesan teh serai dan teh unyot (teh tarik). Aku memesan teh serai karena piwang sudah lama tak menyeruput teh ini di Natuna. Aku biasanya disuguhi teh ini ketika berkunjung ke rumah Wak Yal di Natuna. Jadi semenjak beliau di Batam sudah jarang berkunjung dan menikmati teh serai ini. 
Teh Unyot dan Teh Serai
Sambil menikmati makanan dan menyeruput teh serai ini, kami berbicara sejenak dengan Wak Yal. Namun tak begitu lama sebab beliau juga sedang melayani pelanggan lain yang lumayan ramai pagi itu. Namun nasi dagang yang sudah diproses di dalam perut ini sudah menjadi pengganti piwang akan masakan di kampung. Apalagi harganya terjangkau, dan worth it untuk rasa yang kamu dapat.

Jadi, bagi kamu yang sedang merantau atau yang saat ini berada di Batam, lalu piwang dan ingin mencoba makanan-makanan dari Natuna? Kamu kamu semua bisa mampir ke sini: Dapoer Cik Milah Natuna. 



Thursday, November 23, 2023

Kembali ke Ranah Minang Setelah Dua Dekade

Burung besi yang ku tumpangi mulai lepas landas dari Hang Nadim, meninggalkan kepulauan Melayu, terbang menuju barat mencari kitab suci. Aku sengaja memilih kursi di jendela, karena pada penerbangan kali ini ku begitu antusias, bukan karena untuk mengambil gambar yang biasa jadi bahan feed IG dari atas pesawat, namun karena tujuan pesawat ini. 

Penampakan di bawah selama lebih kurang 60 menit penerbangan ini didominasi oleh daratan luas pulau Sumatera yang masih tampak hijau. Agak berbeda dengan beberapa penerbangan ku sebelum-sebelumnya yang didominasi hamparan laut biru.

Burung besi yang ku tumpangi kali ini akan membawa ku pada suatu tempat, yang baru dua kali ku injakkan kaki di sana. Tempat dimana ulama hingga tokoh-tokoh besar dilahirkan, tempat dimana saksi perjuangan ditampakkan, tempat dimana adat dan budaya dipegang erat, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah: Ranah Minang, tanah leluhur.

Kampuang den, Sumatra Barat

Roda pesawat mendarat mulus sempurna setelah lebih kurang 60 menit di langit Sumatra. Minangkabau International Airport atau Bandara Internasional Minangkabau (BIM), satu dari puluhan bandara internasional di Indonesia (yang kabarnya akan dikurangi beberapa nanti). Aku baru pertama ke bandara yang terletak di Kabupaten Padang Pariaman ini, karena saat pergi pertama kali ke sini puluhan tahun lalu itu, aku dan ayahku lewat jalur darat dari Pekanbaru, naik mobil. Melewati Lembah Anai dan Kelok Sembilan yang berhasil buatku unyai, mabuk tak berdaya.

Sambil menunggu bagasi di ruang tunggu, kami bertemu dengan panitia dan beberapa peserta kegiatan. Ohya, perjalananku kesini dalam rangka menghadiri kegiatan yang diadakan di Kabupaten Sijunjung. Setelah urusan selesai, kami menaiki bus yang ditentukan panitia. Roda bus berputar keluar dari bandara, menuju Kabupaten Sijunjung. Jarak dari BIM ke Sijunjung sekitar 150km, jika waktu normal, perjalanan ditempuh dalam waktu kurang lebih 3 sampai 4 jam perjalanan.

Gass menuju Sijunjung

Aku kembali memilih di jendela, menyandarkan kepala pada dinding kaca bus sambil melihat sekeliling. Melihat alam minangkabau, membuka memori masa kecilku tentang kampung leluhurku ini. Saat pertama pergi, usiaku baru 6 tahun, belum menyadari banyak hal. Ssaat itu aku hanya ingat, kami ke Padang, tempat keluarga nenek, bermain ke Jam Gadang, dan ke pantai Air Manih (tapi tak ke patung Malin Kundang nya). Lalu lanjut lagi ke Bukit Tinggi, kampung keluarga inyiak (kakek). Bermain ke kebun binatang dan taman bermain di sana. Bertemu saudara-saudara dari keluarga ayahku, yang aku sudah lupa namanya.

Bus terus melaju melewati jalan raya yang sedikit lengang. Singgah sebentar untuk istirahat makan siang, bukan di Rumah Makan Padang, tapi masakannya full khas RM Padang. Memang jarang ditemukan RM Padang di Sumatera Barat, sebab masakannya sudah menjadi bagian dari budaya, sehingga tidak perlu lagi melabeli "RM Padang" di rumah-rumah makannya.

Nasi Kapau jadi pengganjal perut di hari pertama ini. Sambil berkenalan dengan beberapa peserta kegiatan lain yang berasal dari berbagai tempat di seluruh Indonesia. Setelah makan siang, kami lanjut ke perjalanan ke Sijunjung.

Perjalanan ke Sijunjung ternyata cukup jauh, kami berhenti di beberapa titik, Baik untuk buang hajat dan belanja makanan ringan untuk dikunyah selama perjalanan. Kami juga melewati tikungan yang sedang viral-viralnya: Sitinjau Lauik. Jalanan ekstrim ini kerap kali lewat di beranda media sosial saya, dan akhirnya bisa lewat secara langsung, dan memang benar-benar ekstrim dan ngeri-ngeri sedap.

Sitinjau Lauik merupakan dataran tinggi dengan jalan berkelok yang terletak di jalan lintas Kota Padang dan Kabupaten Solok. Sitinjau Lauik berarti melihat laut dari kejauhan. Karena terletak di ketinggian lebih dari 1000 mdpl, kita bisa melihat laut di sisi barat pantai Sumatera. Selain terkenal dengan jalur yang ekstrim, jalur yang kerap tertutup awan ini memegang peranan penting bagi jalur transportasi dan distribusi logistik dari dan ke Padang, jalan ini juga menjadi penghubung beberapa daerah di ranah minang.

Rute ini juga melewati Tahura (Taman Hutan Raya) Bung Hatta. Penamaan ini merupakan suatu penghormatan kepada Proklamator asal minang tersebut. Tahura Bung Hatta berada pada ketinggian 300 - 1800an mdpl, dan merupakan rumah bagi ragam jenis flora dan fauna, termasuk jenis bunga bangkai dan beberapa jenis burung endemik.
Melewati Sitinjau Lauik
Perjalanan ke Sijunjung ternyata tak semulus yang dikira. Dari perkiraan awal berkisar 4 jam. Kami baru tiba di Sijunjung pada jam 7 malam. Kurang lebih 8 jam perjalanan. Setelah sampai di Sijunjung, kami disambut oleh "pemilik lahan" dalam acara gala dinner, yap Bupati Sijunjung dan Gubernur Sumatra Barat hadir dalam kegiatan ini.

Setelah semua kegiatan selesai, kami kembali ke tempat menginap, dan rebaaaaah. Akumulasi rasa letih selama 12 jam total perjalanan ditumpahkan di kasur tempat menginap. Mengumpulkan tenaga untuk mengikuti kegiatan besok, dan beberapa hari ke depan.

 

Wednesday, July 26, 2023

Lombok: Dari Museum Hingga "Ndek Wah"

Hari kedua di Gumi Sasak. Kegiatan masih berlangsung dalam ruangan utama. Beberapa peserta lain berada di ruangan pameran, dan beberapa lagi tidak tau entah kemana alias tidak berada di ruang utama, maupun ruang pameran. Dan saya, akan termasuk dalam kategori ketiga, karena berencana keluar hotel setelah kemarin malam googling mengenai tempat-tempat menarik.

Berbekal google map dan aplikasi ojek online, saya mengitari kota Mataram yang masih terasa sejuk meski matahari sudah mulai meninggi. Lokasi pertama adalah pasar mutiara Lombok, ini request dari orang rumah yang sedari pagi sudah wanti-wanti bahkan langsung mengirimkan lokasinya. Tapi jadi tujuan yang perlu dicatat untuk dikunjungi. Kemudian berlanjut ke Museum Daerah NTB yang terletak di jalan Panji Tilar Negara. Museum selalu menjadi top list tempat yang harus saya kunjungi ketika mengunjungi tempat baru. 

GIC Rinjani Lombok
Masih dalam komplek Museum, saya juga mengunjungi Geopark Information Center (GIC), GIC merupakan tempat yang -sepertinya- harus ada ketika suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan Geopark. GIC berisi informasi seputar kebumian wilayah yang ditetapkan sebagai Geopark dan apa yang ada di dalamnya. Dalam hal ini yakni unsur geologi, biologi dan budaya, dari hulu hingga hilirnya, juga termasuk produk-produk unggulannya. 

Dari GIC saya bertolak ke Mataram Islamic Center, yang lokasinya sangat dekat dengan hotel tempat kami menginap, sekaligus tempat acara dihelat. Masjid Hubbul Wathan namanya, terletak di pusat kota menjadikan Islamic Center ini mudah dijangkau. Berdiri di atas lahan seluas kurang lebih 7 hektar, Mataram Islamic Center ini terdiri dari 4 lantai dan 5 menara. Salah satu menara memiliki tinggi 99 meter yang mewakili nama-nama Allah, asma'ul husna

Mataram Islamic Center
Tak hanya sebagai sarana ibadah, Islamic Center ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang, dan menjalankan sebenar-sebenar fungsinya sebagai pusat peradaban islam. Melengkapi julukan pulau Lombok sebagai Pulau 1000 Masjid.

Setelah perjalanan singkat tadi, saya kembali ke hotel untuk beristirahat. Sembari menunggu kegiatan ini yang mengirim saya ke tempat ini: Kongres 1 Indonesian Geopark Youth Forum (IGYF). Kegiatan perdana dalam menentukan pimpinan eksekutif dari organisasi yang telah kugeluti selama kurang lebih setahunan ini.

Hari ketiga, rangkaian kegiatan di Lombok masih berlanjut, dengan agenda terakhir yaitu site visit. Kali ini penyelenggara mengajak kami menuju ke beberapa gili yang ada di sebelah timur pulau ini. Gili berarti pulau. Lombok sudah terkenal sekali dengan Gili Trawangan nya. Namun kali ini penyelenggara akan mengajak ke gili-gili yang lain. Antimainstream memang, namun saya pikir ini merupakan sebuah trik untuk mengenalkan Lombok agar tak hanya Gili Trawangan saja yang dikenal.

Gili Petagan dan Gili Bidara
Dengan perahu wisata, kami mengunjungi Gili Bidara dengan melewati Gili Petagan terlebih dahulu, sebuah hutan mangrove yang indah dengan biota-biotanya. Di Gili Bidara kami menyempatkan diri untuk snorkling, melihat terumbu karang yang luar biasa indahnya dengan jarak yang sangat dekat dari bibir pantai. Kemudian beristirahat makan siang di Gili Kondo. Saya berkumpul bersama rekan-rekan pemuda yang laiin, juga bersama dengan panitia lokal. 

Sambil-sambil bercerita dan berbagi banyak hal, telinga saya ter-autofokus mendengar salah seorang berbicara dengan bahasa sasak kepada temannya. "Ndekwah", begitu lafaznya, seketika saya memberhentikan percakapan mereka dan bertanya.

Gili Kondo dan Gili Pasir

"tadi barusan bilang "ndekwah", apakah artinya itu tidak pernah?"

"iya, kok tau bang", jawab mereka dan kembali bertanya.

Ndekwah juga memiliki arti yang sama dengan bahasa Melayu Natuna, yaitu tidak pernah. Sebuah percakapan singkat dengan awalan kata "ndekwah" menjadi cerita panjang setelahnya. Perbincangan tentang pertukaran budaya antara Melayu Natuna dan Sasak di Lombok. Kata "ndek" sebelumnya sudah pernah saya dengar saat diajak oleh senior kampus saya yang juga berdomisili di sini ketika kami makan ayam taliwang, masakan khas Lombok. Namun "ndekwah" ini memiliki makna tersendiri bagi saya, dua pulau yang berjarak ratusan kilometer memiliki kesamaan kata dan makna. Barangkali ada kesamaan dalam hal tertentu yang terjadipada masa lampau.

Bukan lebay, namun ini tentang rasa saja. Dan saya yang sepertinya harus kembali mempelajari sejarah mengenai bahasa-bahasa di Nusantara. Barangkali "ndekwah" adalah salah satu dari sekian banyak kesamaan bahasa antara Melayu Natuna dan Sasak di pulau Lombok ini.

Geopark Rinjani Lombok memberikan pengalaman baru. Kesan pertama yang begitu "menggoda", semoga bisa kembali ke Gumi Sasak ini, kelak. Sampai jumpa lagi.