Friday, December 28, 2012

Sekelumit Sejarah Natuna di Pulau Subi

Subi merupakan sebuah pulau yang terletak di bagian timur Kabupaten Natuna. Ia termasuk gugusan kepulauan Natuna Selatan bersama dengan pulau-pulau Serasan. Saat Natuna terbentuk jadi kabupaten tahun 1999, daerah pulau Subi dan sekitarnya masih masuk dalam wilayah adiministratif kecamatan Serasan. Seiring dengan perkembangan waktu, Subi akhirnya menjadi kecamatan beberapa tahun kemudian.

Tak banyak yang tahu memang, Pulau Subi menyimpan jejak-jejak sejarah perang masa lalu, yang sebagiannya masih bisa kita lihat hingga sekarang. Pulau Subi menjadi saksi bisu dahsyatnya perang dunia kedua puluhan tahun yang lalu.


Jepang Bangun Bandara untuk Pertahanan
Sekelumit sejarah Natuna yang dahulu disebut Pulau Tujuh juga ada di Pulau Subi. Pada saat itu, Pulau Tujuh bergabung dalam Kepulauan Riau, telah memerintah beberapa orang “Tokong Pulau”, Tekong atau Nahkoda, istilah yang diberikan kepada Datuk Kaya di wilayah Pulau Tujuh.
Bekas Bandara di Subi, via batampos.co.id
Di Pulau Subi, terdapat bekas lapangan udara, yang dibangun oleh pemerintah Jepang, saat melakukan penjajahan. Jepang mendirikan lapangan tersebut tahun 1942, sebagai salah satu pertahanan di Natuna.

“Kini, sisa-sisa peninggalan lapangan udara tersebut telah menjadi hutan rimbah dengan menyisakan tiang-tiang besi tua,” terang anggota DPRD Natuna, Baharuddin, SE, tentang sejarah kampung halamnnya, Desa Subi Kecamatan Subi, Kabupaten Natuna. Kisah ini diperkuat dengan catatan Wan Tarhusin, Bsc, salah seorang tokoh Pemuka Budaya yang ada di Kabupaten Natuna.

Katanya, pembangunan lapangan udara tersebut dilakukan Jepang dengan mengerahkan mengerahkan tenaga rakyat Pulau Subi sebagai tenaga Rodi, sampai dengan lapangan udara tersebut selesai. Namun begitu mendengar berita pasukan Belanda sudah berada di Ranai, pasukan Marinir Jepang yang ada di Pulau Subi, secara bertahap mulai keluar. Dan gelombang terakhir pasukan Jepang ini, terpergok pasukan udara Belanda yang sekonyong-konyong melintas di atas Pulau Subi, dengan menjatuhkan bom dari udara. Bom inilah yang menyebabkan lapangan udara Jepang di Pulau Subi, rusak berat.

Namun, dengan seribu akal tentara, Jepang tetap mencari jalan untuk dapat keluar dari Pulau Subi. Mereka kemudian menemui Datuk Kaya Pulau Subi untuk meminta bantuan. Mereka meminta agar rakyat Subi menyerahkan songkok (kopiah) kepada para tentara Jepang yang tersisa untuk digunakan sebagai penyamaran agar terlihat bagaikan orang Melayu Pulau Subi.

Kelihatanya akal ini berhasil. Dari Pulau Subi para tentara Jepang yang tersisa dapat keluar menuju ke tempat yang sangat dirahasiakan. Mereka keluar pada malam hari dengan menggunakan sampan berciau menuju ke tempat yang sudah diarahkan. Dan memang, tidak ada seorangpun tentara Jepang yang tinggal atau tersisa di Pulau Subi.

Menurut Baharuddin, kini lapangan udara Pulau Subi tersebut menyisakan hutan belukar. Letaknya di sebelah Tenggara Pulau Bunguran atau Ranai dan sebelah utara Pulau Serasan. Jarak antara Pulau Subi dengan Ranai sekitar 70 Mil dan jaran Pulau Serasan dengan Pulau Subi sekitar 35 mil.

Pada masa Kewedanan Pulau Tujuh masih berstatus District, Pulau Subi dimasukkan dalam satu wilayah dengan Onderdistrict Serasan dan dikepalai seorang Amir sekelas Camat saat ini. Sedangkan kini, Pulau Subi sudah dimekarkan menjadi sebuah Kecamatan yakni Kecamatan Subi. Pada masa itu, Pulau Subi diincar Jepang karena dianggap strategis. Itu pula yang mendasari Jepang membangun lapangan udara Jepang pada tahun 1942. Ini dilakukan sebagai pusat pertahanan udara Jepang di Natuna mendampingi Terempa sebagai tempat tentara Marinir Jepang dan pasukan Jutai.

Pulau Subi sudah di kenal International dalam sejarah zaman Jepang maupun zaman Hindia Belanda. Berdasarkan makalah: Seminar Sejarah Riau Desember 2003 oleh: Darmiati Jkt, di sekitar Pulau itu, pernah terjadi dimana sebuah kapal asing pecah. Peristiwa ini terjadi tanggal 13 Desember 1966 sekitar pukul 13.00 atau 1 siang. Kapal bernama “Pathol Salam” dipukul ombak dan hanya mampu bertahan selama 9 jam. Pada pukul 22.00 atau 10 malam, barulah kapal tersebut dapat sampai ditepi pantai Pulau Subi. (Kisah sejarah ini tersimpan dalam arsip nasional di Jakarta untuk dijadikan bukti sejarah tingkat Nasional).

Sementara itu, untuk kisah julukan “Tokong” yang juga berarti tanah Busut yang menonjol ke permukaan laut atau tanah Kukop atau batu karang yang menonjol ke permukaan laut, yang sangat berbahaya untuk lalu lintas kapal yang melewati areal tersebut. Julukan Tokong Pulau diberikan kepada Datuk Kaya di Pulau Tujuh untuk mengibaratkan seorang pemimpin yang mengendalikan pemerintah di wilayah terkecil, yang sewaktu itu diberi hak oleh Sultan Riau sesuai dengan ketentuan “Yayasan Adat”, yang sudah ada pada masa itu.

Dari kisah yang diperoleh, bahwa gelar yang diberikan dalam pembagian Wilayah Datuk Kaya Pulau Tujuh disebutkan bahwa untuk Wilayah Pulau Siantan diberikan kepada Pangeran Paku Negara dan Orang Kaya Dewa Perkasa, untuk Wilayah Pulau Jemaja diberikan kepada Orang Kaya Maha Raja Desa dan Orang Kaya Lela Pahlawan. Selanjutnya, untuk Wilayah Pulau Bunguran diberikan kepada Orang Kaya Dana Mahkota, dua orang Penghulu dan satu orang Amar Diraja. Untuk Wilayah Pulau Subi diberikan kepada Orang Kaya Indra Pahlawan dan Orang Kaya Indra Mahkota.

Juga diberikan Wilayah Pulau Serasan kepada Orang Kaya Raja Setia dan Orang Setia Raja. Wilayah Pulau Laut diberikan kepada Orang Kaya Tadbir Raja dan Penghulu Hamba Diraja. Dan Wilayah Pulau Tambelan diberikan kepada Petinggi dan Orang Kaya Maharaja Lela Setia.

“Orang-orang besar inilah yang pada zaman dahulu memerintah di wilayah Pulau Tujuh dengan masing-masing wilayah secara turun temurun, sampai pada akhir kekuasaannya,” terang Baharuddin.

Oleh karena pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu masih memegang peranan “Zich Bemoelen Met” ikut mencampuri urusan pemerintahan yang menyangkut strateginya di Pulau Tujuh, maka penempatan kedudukan para Datuk Kaya diatur sedemikian rupa dengan menerapkan imperialisme . Tujuan memecah belah persatuan dan kesatuan di wilayah Pulau Tujuh atau dengan menerapkan “Devide et Impera” yang semata-mata untuk menguntungkan pihak Belanda. (sm/dk)

sumber : haluankepri.com

Thursday, December 20, 2012

Sedanau, Kota Terapung di Natuna

Sedanau merupakan pulau di sebelah barat pulau Bunguran Besar. Ia merupakan ibukota dari Kecamatan Bunguran Barat, Natuna. Ada beberapa rute menuju kesana. Salah satunya yang sering digunakan masyarakat yakni rute dari Binjai (ini biasa di pakai oleh orang yang domisili di pulau Bunguran Besar). Perjalanan dari Binjai bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih satu jam dari pusat Kota Ranai. Setelah sampai di pelabuhan Binjai, segera menuju loket pembelian tiket speed boat. Jadwal keberangkatan Binjai - Sedanau hanya 2 kali dalam sehari, pagi dengan petang.

Perjalan ke Sedanau ditempuh kurang lebih 60 menit, diawal-awal perjalanan kita disuguhkan dengan pemandangan muara sungai lengkap dengan tumbuhan-tumbuhan mangrovenya. Ada juga melewati Pulau Pasir yang konon jika laut sedang surut, pasir akan "timbul" memanjang sejauh 2 kilometer. Saat setelah melewati muara sungai, baru kita disuguhkan dengan pemandangan pulau-pulau indah di sekitaran pulau Sedanau. Saat akan sampai di pelabuhan Sedanau, kita akan banyak melihat keramba ikan. Yap, ini menunjukkan bahwa nelayan merupakan mata pencaharian utama masyarakat Sedanau, disamping berkebun dan berdagang.
Pulau Pasir
Kota Sedanau merupakan kota terapung terbesar yang ada di Kabupaten Natuna, hampir 80% rumah-rumah penduduk berada di atas laut. Tak hanya rumah-rumah penduduk, penginapan, toko-toko bahkan masjid juga terletak di atas laut. Ini menjadikan Sedanau memiliki keunikan tersendiri. Layaknya tempat-tempat lain di Natuna, Sedanau memiliki bebrapa tempat wisata alam, budaya, dan sejarah. Salah satu wisata alam yang terkenal di Sedanau adalah Pantai Semarus / Pantai Pasir Marus, pantai dengan pasir putih dengan suasana yang nyantai banget ini bisa dinikmati dengan berkendara selama 15 menit saja dari Pelabuhan. 
Pantai Pasir Marus / Semarus, Sedanau
Sedanau juga merupakan saksi bisu atas dua peristiwa penting negara, yaitu tenggelamnya kapal penumpang KM. Djadajat dan jatuhnya pesawat yang membawa delegasi peserta Konferensi Asia Afrika di Bandung. Sisa-sisa bangkai kapal maupun puing-puing pesawatnya masih bisa dilihat di laut sekitaran pulau Sedanau. Ini bisa dikembangkan untuk menjadi wisata bawah laut sekaligus sejarah, dimana pulau mungil ini menyimpan sebagian kecil dari sejarah Indonesia.
Sunset dan Sunrise di Sedanau

Sip lah, see you next post yak.

Wednesday, October 31, 2012

Mengenal Gunung Ranai, Gunung Tertinggi di Natuna

Gunung Ranai terletak sekitar 5 km dari pusat kota. Dengan tinggi kurang lebih 1000 m, Gunung Ranai mempunyai 3 cabang atau 3 puncak, yaitu Puncak Serindit (968 m), Puncak Erik Samali (999 m), puncak Datuk Panglime Husin (1.035). Meski terbilang rendah, apalagi bagi teman-teman mapala mungkin hanya diistilahkan sebagai "bukit" saja. Tapi percaya tak percaya boleh di coba naik ni Gunung. Mbe ndek ngiep-ngiep gek itak, heeehh.... 

Banyak tim ekspedisi yang menaklukan gunung ini, diantaranya adalah tim ekspedisi yang didatangkan oleh Pemda untuk mendaki Gunung ini pada tanggal 17 Agustus 2006 sambil mengibarkan bendera Merah Putih di sana, mantap kan?

Owya.. Gunung Ranai juga merupakan 1 dari tiga gunung yang ada di Pulau Bunguran besar, juga merupakan Gunung dengan Puncak tertinggi di Kabupaten Natuna. Tegak berdiri kokoh bak "tameng" yang menjaga Pulau Bunguran ini.

Sebagai perkenalan, mari kita lihat sejenak beberapa gambar Gunung Ranai ini. Masih pemanasan, artikel lebih lanjut tentang Gunung Ranai akan saya posting nanti, okey..


SONG ITE NONG......
tapi maaf..gambarnya baru dikit.... :)

Gunung Ranai dari Puak

Gunung Ranai dari Pulau Senoa

Gunung Ranai dari jalan Puak

Dari Ujung Utara Landasan


Gunung Ranai dari Ujung Landasan Udara

Dari Pantai Teluk Selahang





Sunday, October 28, 2012

Kecamatan Pulau Tiga, Pintu Gerbang Alur Laut di Natuna

Ada satu kecamatan di Kabupaten Natuna yang mempunyai peran penting dalam alur laut di Natuna. Ia adalah kecamatan Pulau Tiga. Terletak di bagian selatan Pulau Bunguran Besar, Kecamatan Pulau Tiga sebelum menjadi kecamatan sendiri dahulu daerah ini berada dalam lingkup administratif kecamatan Bunguran Barat. Melihat potensi yang dimiliki, maka Bupati Natuna saat itu memekarkan daerah ini menjadi Kecamatan tersendiri.

Penamaan kecamatan Pulau Tiga diambil dari tiga pulau besar yang terdapat di gugusan pulau ini, yakni Pulau Sabang Mawang, Pulau Balai dan Pulau Tanjung Kumbik. Wilayah Kecamatannya meliputi pulau-pulau yang ada disekitarnya dan sedikit daerah di Pulau Bunguran Besar, namanya Lampa. Lampa merupakan pelabuhan penumpang yang kerap disinggahi oleh Kapal Penumpang KM. Bukit Raya milik PT. Pelni. Ini merupakan moda transportasi laut andalan masyarakat Natuna. Di desa Lampa juga terdapat fasilitas Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) milik PT. Pertamina. Dan Selat Lampa juga merupakan tempat dimana banyak kapal yang berlabuh jangkar.
Kapal Penumpang KM. Bukit Raya tiba di pelabuhan Selat Lampa
Selat Lampa, yang merupakan perairan antara Desa Lampa dan Pulau Balai merupakan area laut yang lumayan sibuk dengan lalu lalang transportasi lautnya. Selain KM Bukit Raya yang tida setiap seminggu sekali. Ada beberapa kapal lain yang melakukan bongkat muat bahan bakar untuk didistribusikan ke pulau-pulau lain disekitar Kabupaten Natuna.
Perahu Klotok (Mutur) yang merupakan transportasi utama, dan TBBM PT. Pertamina di Selat Lampa

Menuju ke Kecamatan Pulau Tiga tidaklah sulit, hanya memakan waktu kurang lebih 90 menit berkendara dari Kota Ranai menuju Lampa, kemudian naik perahu klotok (masyarakat menyebutnya mutur) menuju ke pulau-pulau di Kecamatan Pulau Tiga. Kenampakan alamnya terdiri dari pegunungan terjal dan bebatuan. Disini juga terdapat batu raksasa pemecah ombak. Masyarakat Natuna menyebutnya Tekul atau Setekul. Pulau Bunguran memiliki bebatuan pemecah ombak di empat penjuru pulau, Batu Setekul merupakan salah satunya. Di bagian utara ada Tanjung Datuk, sebeah timur ada Batu Sindu, sebelah barat ada Tanjung kapal. Pas, seperti ada pesan tersembunyi yang disimpan oleh alam.
Setekul, Batu Besar Pemecah Ombak
Pulau Tiga memiliki  banyak tempat wisata alam. Pulau Setanau salah satunya, pulau ini kerap ramai dikunjungi oleh wisatawan dalam maupun luar daerah, paling ramai ketika H + 3 sampai H + 5 Idul Fitri. Dan beberapa tempat lain yang berpotensi wisata sedang dalam tahap pengembangan. Sayangnya tak banyak dokumentasi dari saya untuk pulau ini. Semoga postingan berikutnya bisa menjelaskan lebih rinci ya. 
Panorama alam, Kecamatan Pulau Tiga
Trims.

Friday, October 26, 2012

Bukit Arai, The Distric Center of Natuna

Bukit Arai merupakan sebuah bukit yang terletak sekitar 7 km dari pusat kota Ranai. Terletak di jalan Batu Sisir dan secara administratif masuk kawasan kelurahan Bandarsyah, Kecamatan Bunguran Timur. Di sanalah pusat kantor-kantor pemerintahan Kabupaten Natuna (meski tidak semua) berada. Ya boleh lah di bilang Distric Center nya Natuna. 😊

BA, itu kata anak gaul Ranai. Dulu, tempat ini hanyalah sebuah hutan belantara. Oleh pemerintah daerah yang kala itu dipimpin oleh bapak Abdul Hamid Rizal, bupati pertama Kabupaten Natuna, bukit ini "disulap" menjadi susunan gedung-gedung yang ditata sedemikian indah dengan Gunung Ranai sebagai latar belakangnya. Pemilihan lokasi yang telah mempertimbangkan segala macamnya, akhirnya berdiri megah kantor Bupati dan beberapa kantor instansi Pemerintah Kabupaten Natuna yang menghiasi bukit yang dulunya hutan belantara tersebut. :D



Menuju ke kantor Bupati ini, jika kita dari pusat Kota di Ranai harus berkendara mengikuti jalan poros selatan Ranai - Selat Lampa. Setelah melewati kantor Polres Natuna akan ada simpang tiga, lalu belok kanan. Dari simpang tiga menuju gerbang kantor bupati diperkirakan sejauh 3 km. Dari gerbang pos menuju kantor, kita disuguhkan pemandangan menakjubkan akan megahnya kantor bupati yang gagah berdiri di atas bukit. Jarak dari gerbang pos menuju kantor bupati diperkirakan sejauh 1 km dengan jalan lurus menuju kaki bukit, lalu dilanjutkan jalan setengah melingkar untuk naik ke atas Bukit Arai.


Dalam maket pembangunan kabupaten, nantinya di seberang gerbang pos masuk akan di bangun rumah Dinas Bupati Natuna. Namun saat tulisan ini ditulis, belum ada tanda-tanda pekerjaan ini akan dimulai.

Jom, liat gambar-gambarnya.
Kantor Bupati dari Kejauhan
Jalan setengah melingkar menanjak menuju kantor.





Jalan dari pos jaga menuju Kantor Bupati





Sunday, August 26, 2012

Menikmati Petang dan Senja di Jalan Pering nan Eksotik

Pering merupakan nama tempat di dekat SMA Negeri 2 Bunguran Timur. Dari sini dibuat jalan timbun yang tembus ke daerah Penagi, sebuah area pelabuhan dan kampung di atas air. Jalannya melewati hutan bakau, daerah mangrove yang tembus ke laut dangkal di ujung Landasan Udara sebelah selatan. Dibuatnya jalan ini sangat berpengaruh besar, terlebih bagi masyarakat Penagi. Jika sebelumnya masyarakat dan pelajar dari Penagi jika ingin ke SMAN 2 dan daerah Bandarsyah, haruslah memutar jauh serta dan juga melewati area militer (komplek TNI AU, AD, AL dan Polisi). Adanya jalan ini, masyarakat bisa menghemat waktu 30 menit perjalanan menuju ke Pering dan daerah Bandarsyah. Dan juga, tempatnya keren.!

Jalan Pering ini dibuat selain untuk menghubungkan antara Bandarsyah dan Penagi juga merupakan pelabuhan kapal Tongkang untuk bongkar muat. Terlebih saat ini di Natuna sedang banyak proyek-proyek infrastruktur yang sedang dikerjakan.

Untuk sekedar jalan-jalan santai sambil menunggu sunset, atau hanya sekedar lewat jalan-jalan sore sambil melihat aktifitas nelayan yang melaut, tempat ini sangat pas. Deburan ombak, kicauan burung, suara mesin kapal, dan hembusan angin merupakan kombinasi simponi alam dan buatan manusia yang enak didengar telinga.

Sayangnya disaat malam tempat ini sering "disalahartikan" oleh muda-mudi yang sedang kasmaran. Padahal pemandangan malam juga tak kalah bagus, lampu-lampu rumah di Kota Tua Penagi menjadi pemandangan yang bagus dikala malam, tempat yang bagus juga untuk sekedar jalan dan nongkrong sambil mancing bersama rekan-rekan, meski angin agak sedikit kencang ya. But overall, jalan Pering - Penagi merupakan salah satu tempat yang harus kamu datangi untuk menikati alam Natuna dengan cara yang sedikit beda. 😁


Jom, liat sedkit foto-fotonya.



Area Mangrove Pering

Area Mangrove Pering
Area Mangrove saat Sunset

Alam

Gunung Ranai yang Terlihat dari Jalan Pering
Sunset

Pelabuhan Tongkang

Bermain dengan Matahari

Wednesday, July 18, 2012

Mengenal Arti Nama Natuna

Sering kita mendengar dari orang-orang sebuah ucapan "apa lah arti sebuah nama?". Namun, percaya atau tidak, nama itu memiliki arti dan sejarah tersendiri. Beberapa tempat diberi nama melalui sebuah sejarah panjang, atau juga berdasarkan kejadian.

Begitu pula dengan Natuna. Ada banyak asal usul tentang nama Natuna ini, mulai dari bahasa Belanda dan China. Mari kita ulas satu persatu.

Kata Natuna di ambil dari bahasa Belanda yaitu “Natunae” yang artinya “alami“. Pulau Natuna bermakna pulau yang alami, dilihat keindahan panorama alamnya seperti gugusan pulau-pulau besar dan kecil dimana keindahannya begitu kental dibentuk oleh alam. Lagi pula sampai sekarang pulau-pulau di Kabupaten Natuna yang terdiri dari beberapa obyek wisata yang masih natural di beberapa wilayah seperti Ranai, Sedanau, Pulau Subi, Pulau Laut, Kelarik, Midai, dan Serasan masih belum banyak di sentuh oleh tangan manusia.


Ada pula yang menyebutkan nama Natuna berasal dari bahasa China, "Nan Toa" yang berarti "Pulau Besar". Kata ini tertulis dalam buku seorang pendeta China pada jaman kerajaan Sriwijaya. Dalam perjalanannya ia singgah dibeberapa pulau, ada yang besar, ada pula yang kecil. Yang besar disebut Nan Toa, yang dengan pelafalan dialeg melayu menjadi Natuna dan tersebar luas ke masyarakat.

Ada versi yang lain?
Pantai Pasir Marus, Bunguran Barat

Pantai Cemaga, Bunguran Selatan

Pantai Air Putih, Midai

Batu Sindu n Pulau Senua, Bunguran Timur......


sumber artikle : natuna.org

Monday, July 16, 2012

Pulau Midai, Pulau Mandiri nan Mungil di Tengah Laut Natuna

Midai merupakan nama sebuah pulau sekaligus nama kecamatan yang berada di Kabupaten Natuna. Letaknya berada di sebelah selatan pulau Bunguran Besar -map-. Pulau mungil ini sebenarnya memiliki satu teman -bak planet Pluto dengan satelit alami Charan nya- adalah pulau Timau namanya. Namun letaknya pun sangat jauh dari Midai, sehingga Pulau Midai sering dibilang sendiri di tengah-tengah laut Natuna. 

Secara geografis, di sebelah utara Pulau Midai berbatasan dengan pulau Bunguran. Di Sebelah selatan, berbatasan dengan kepulauan Tambelan (Kabupaten Bintan). Di sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Subi, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Anambas.
Pulau Midai dari Udara
Luas pulau Midai ± 18 km dan dapat dikelilingi dengan berjalan kaki atau kendaraan bermotor. Seperti masyarakat Natuna pada umumnya, mata pencarian masyarakat di sana adalah menjadi nelayan, berdagang dan berkebun.

Pulau yang di kelilingi Laut China Selatan ini hanya memiliki pelabuhan kecil yang hanya bisa di singgahi kapal perintis. Untuk Kapal-kapal besar seperti KM. Bukit Raya yang melayani rute pelayaran di Kabupaten Natuna tidak bisa merapat di pelabuhan, yang menyebabkan kapal harus berlabuh jangkar agak jauh ke tengah laut untuk menunggu penumpang yang datang dengan pompong-pompong (perahu bermesin) kecil.

Pulau Midai terkenal dengan penghasil kopra sejak zaman Kesultanan Riau Tahun 1886, selain itu Midai juga memiliki catatan sejarah dengan adanya Koperasi Tertua di Indonesia, yaitu Koperasi Ahmadi & CO yang oleh Bung Hatta dinyatakan sebagai Koperasi yang tertua di Indonesia.

Sepanjang kita mengelilingi pulau Midai terdapat nama-nama kampung seperti Sabang Barat, Sabang Muduk, Batu Belanak, Air Kumpai, Air Salor, Tanjung Lampung, Air Bunga, Bakau Besar, Bakau Kecil, Jambat, Arung Limau, Suak Midai, Pian Tumu, Sebelat, Air Putih, Air Pancur, Pian Rumput, Tanjung Keramat, Suak Besar, dan lain-lain.

sumber : natuna.org

Wednesday, June 6, 2012

Legenda Pulau Senua

Pulau Senua terletak di Ujung Tanjung Senubing Bunguran Timur, Natuna, Provinsi Kepualaun Riau, Indonesia. Kata senua dalam bahasa setempat berarti satu tubuh berbadan dua. Menurut cerita, pulau yang terkenal sebagai sarang burung layang-layang putih ini merupakan  penjelmaan dari seorang perempuan yang sedang berbadan dua (hamil) bernama Mai Lamah. Mengapa Mai Lamah menjelma menjadi pulau?

Baca : Senua, Pulau Eksotik di Natuna

Alkisah, di sebuah daerah di Pulau Bunguran, hiduplah sepasang suami-istri miskin. Sang suami bernama Baitusen, sedangkan istrinya bernama Mai Lamah. Suatu ketika, mereka memutuskan merantau ke Pulau Bunguran untuk mengadu nasib. Mereka memilih Pulau Bunguran karena daerah tersebut terkenal memiliki banyak kekayaan laut, terutama karang dan siput.

Ketika pertama kali tinggal di Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai nelayan sebagaimana umumnya warga yang tinggal di pulau tersebut. Setiap hari, ia pergi ke laut mencari siput-lolak (kerang-kerangan yang kulitnya dapat dibuat perhiasan), kelekuk-kulai (siput mutiara), dan beragam jenis kerang-lokan. Sedangkan istrinya, Mai Lamah, membantu suaminya membuka kulit kerang untuk dibuat perhiasan.

Baitusen dan istrinya pun merasa senang dan betah tinggal di Pulau Bunguran, karena warga pulau tersebut menunjukkan sikap yang ramah dan penuh persaudaraan. Kebetulan rumah mereka bersebelahan dengan rumah Mak Semah, seorang bidan kampung yang miskin, tapi baik hati.
“Jika suatu ketika kalian sakit-mentak (sakit-sakitan), panggil saja Emak! Emak pasti akan datang.” -Pesan Mak Semah kepada Mai Lamah, tetangga barunya itu.
“Terima kasih, Mak!” -ucap Mai Lamah dengan senang hati.
Begitu pula warga Bunguran lainnya, mereka senantiasa bersikap baik terhadap Baitusen dan istrinya, sehingga hanya dalam waktu beberapa bulan tinggal di daerah itu, mereka sudah merasa menjadi penduduk setempat. 
"Bang! Sejak berada di kampung ini, Adik tidak pernah merasa sebagai pendatang. Semua penduduk di sini menganggap kita sebagai saudara sendiri,“ -kata Mail Lamah kepada suaminya.
"Begitulah kalau kita pandai membawa diri di kampung halaman orang,“ -pungkas Baitusen. 
Waktu terus berjalan. Baitusen semakin rajin pergi ke laut mencari kerang dan siput. Ia berangkat ke laut sebelum matahari terbit di ufuk timur dan baru pulang saat matahari mulai terbenam. Daerah pencariannya pun semakin jauh hingga ke daerah pesisir Pulau Bunguran Timur.

Pada suatu hari, Baitusen menemukan sebuah lubuk teripang, di mana terdapat ribuan ekor teripang (sejenis binatang laut) di dalamnya. Sejak menemukan lubuk teripang, ia tidak pernah lagi mencari kerang dan siput. Ia berharap bahwa dengan mencari teripang hidupnya akan menjadi lebih baik, karena harga teripang kering di Bandar Singapura dan di Pasar Kwan Tong di Negeri Cina sangatlah mahal. Ia pun membawa pulang teripang-teripang untuk dikeringkan lalu dijual ke Negeri Singapura dan Cina.

Akhirnya, hasil penjualan tersebut benar-benar mengubah nasib Baitusen dan istrinya. Mereka telah menjadi nelayan kaya raya. Para tauke dari negeri seberang lautan pun berdatangan ke Pulau Bunguran untuk membeli teripang hasil tangkapan Baitusen dengan menggunakan tongkang-wangkang (kapal besar). Setiap enam bulan sekali segala jenis tongkang-wangkang milik para tauke tersebut berlabuh di pelabuhan Bunguran sebelah timur.

Sejak saat itu, Baitusen terkenal sebagai saudagar teripang. Langganannya pun datang dari berbagai negeri. Tak heran jika dalam kurun waktu dua tahun saja, pesisir timur Pulau Bunguran menjadi Bandar yang sangat ramai. Istri Baitusen pun terkenal dengan panggilan Nyonya May Lam oleh para tauke langganan suaminya itu. Rupanya, gelar tersebut membuat Mai Lamah lupa daratan dan lupa dengan asal usulnya. Ia lupa kalau dirinya dulu hanyalah istri nelayan pencari siput yang miskin dan hidupnya serba kekurangan.

Sejak menjadi istri seorang saudagar kaya, penampilan sehari-hari Mai Lamah berubah. Kini, ia selalu memakai gincu, bedak dan wangi-wangian. Bukan hanya penampilannya saya yang berubah, tetapi sikap dan perilakunya pun berubah. Ia berusaha menjauhkan diri dari pergaulan, karena jijik bergaul dengan para tetangganya yang miskin, berbau anyir, pedak-bilis (sejenis pekasam atau ikan asin, makanan khas orang Natuna), dan berbau kelekuk (siput) busuk. Selain itu, ia pun menjadi pelokek (sangat kikir) dan kedekut (pelit). 

Pada suatu hari, Mak Semah datang ke rumahnya hendak meminjam beras kepadanya. Namun malang bagi Mak Semah, bukannya beras yang ia peroleh dari Mai Lamah, melainkan cibiran.
"Hai, perempuan miskin! Tak punya kebun sekangkang-kera (bidal untuk menentukan luas tanah/perkebunan), masih saja pinjam terus. Dengan apa kamu akan membayar hutangmu?“ Mai Lamah mencemooh Mak Semah.
Mendengar cemoohan itu, Mak Semah hanya terdiam menunduk. Sementara suami Mak Lamah yang juga hadir di tempat itu, berusaha untuk membujuk istrinya. 
"Istriku, penuhilah permintaan Mak Semah! Bukankah dia tetangga kita yang baik hati. Dulu dia telah banyak membantu kita.”
“Ah, persetan dengan yang dulu-dulu itu! Dulu itu dulu, sekarang ya sekarang!“ -seru Mai Lamah dengan ketus. 
Begitulah sikap dan perlakuan Mai Lamah kepada setiap warga miskin yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan. Dengan sikapnya itu, para warga pun menjauhinya dan enggan untuk bergaul dengannya. 
Suatu ketika, tiba juga masanya Mai Lamah membutuhkan pertolongan tetangganya. Ia hendak melahirkan, sedangkan Mak Bidan dari pulau seberang belum juga datang. Baitusen telah berkali-kali meminta bantuan Mak Semah dan warga lainnya, namun tak seorang pun yang bersedia menolong. Mereka sakit hati karena sering dicemooh oleh istrinya, Mai Lamah.
"Ah, buat apa menolong Mai Lamah yang kedekut itu! Biar dia tau rasa dan sadar bahwa budi baik dan hidup bertegur sapa itu jauh lebih berharga dari harta benda,” -cetus Mak Saiyah, seorang istri nelayan, tetangga Mai Lamah.
Baitusen yang tidak tega lagi melihat keadaan istrinya itu segera mengajaknya ke pulau seberang untuk mencari bidan.
"Ayo, kita ke pulau seberang saja, Istriku!“, ajak Baitusen sambil memapah istrinya naik ke perahu.
"Bang! Jangan lupa membawa serta peti emas dan perak kita! Bawa semua naik ke perahu!“ -seru Mai Lamah sambil menahan rasa sakit.
“Baiklah, Istriku!” -jawab Baitusen.
Setelah mengantar istrinya naik ke atas perahu, Baitusen kembali ke rumahnya untuk mengambil peti emas dan perak tersebut. Setelah itu, mereka pun berangkat menuju ke pulau seberang. Dengan susah payah saudagar kaya itu mengayuh perahunya melawan arus gelombang laut. Semakin ke tengah, gelombang laut semakin besar. Percikan air laut pun semakin banyak yang masuk ke dalam perahu mereka. Lama-kelamaan, perahu itu semakin berat muatannya dan akhirnya tenggelam bersama seluruh peti emas dan perak ke dasar laut.

Sementara Baitusen dan istrinya berusaha menyelamatkan diri. Mereka berenang menuju ke pantai Bunguran Timur mengikuti arus gelombang laut. Tubuh Mai Lamah timbul tenggelam di permukaan air laut, karena keberatan oleh kandungannya dan ditambah pula dengan gelang-cincin, kalung lokit (liontin emas), dan subang emas yang melilit di tubuhnya. Untungnya, ia masih bisa berpegang pada tali pinggang suaminya yang terbuat dari kulit kayu terap yang cukup kuat, sehingga bisa selamat sampai di pantai Bunguran Timur bersama suaminya. Namun, malang nasib istri saudagar kaya yang kedekut itu, bumi Bunguran tidak mau lagi menerimanya. Saat itu, angin pun bertiup kencang disertai hujan deras. Petir menyambar-nyambar disusul suara guntur yang menggelegar. Tak berapa lama kemudian, tubuh Mai Lamah menjelma menjadi batu besar dalam keadaan berbadan dua. Lama-kelamaan batu besar itu berubah menjadi sebuah pulau. Oleh masyarakat setempat, pulau tersebut dinamakan “Sanua” yang berarti satu tubuh berbadan dua. Sementara emas dan perak yang melilit tubuh Mai Lamah menjelma menjadi burung layang-layang putih atau lebih dikenal dengan burung walet. Hingga kini, Pulau Bunguran terkenal sebagai pulau sarang burung layang-layang putih itu



Demikian cerita Legenda Pulau Senua dari daerah Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan modal yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu akibat buruk dari sifat kedekut (pelit), dan tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan.

Pertama, akibat buruk dari sifat kedekut (pelit). Sifat ini ditunjukkan oleh sikap Mai Lamah yang tidak mau membantu para tetangganya yang membutuhkan pertolongan. Akibatnya, para warga pun menjauhinya dan ketika ia membutuhkan pertolongan, para warga pun enggan untuk menolongnya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu :

Kalau hidup dengan kedekut,
Bila mati bangkai bersemut
Kalau hidup terlalu pelit,
alamat hidup akan tersepit

orang kedekut, mati hanyut
orang kedekut, matinya sempot
orang kedekut, mati mengerekot
orang kedekut, mati takut,

Kedua, akibat buruk dari sifat tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap Mai Lamah yang senantiasa membangga-banggakan harta kekayaannya. Akibatnya, ia pun tersisih dari pergaulan sehari-hari. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

Siapa yang tak mau mensyukuri nikmat,
harga yang dapat takkan berkat
apa tanda batang kemiri
buahnya keras dibuat rempah
apa tanda orang yang tak tahu diri
beroleh karunia hatinya pongah

wahai ananda hendaklah ingat,
siapa tak mau mensyukuri nikmat
hidupnya hina mati pun sesat
sepanjang masa dalam melarat

Sumber : Melayu Online

Tuesday, May 29, 2012

Senua, Pulau Eksotik di Natuna

Pulau Senua, ia adalah salah satu pulau yang ada di Kecamatan Bunguran Timur. Terletak di sebelah timur pulau Bunguran. Pulau ini memiliki bentuk yang khas, seperti orang hamil kalau kita lihat dari Desa Teluk Baruk. (ceritanya nanti lah ya). 

Beberapa orang menyebut Pulau Senua ini
sebagai "bidadari yang tertidur". Perjalan ke Pulau ini bisa dilakukan dari pelabuhan Teluk Baruk. Kita membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit dengan menggunakan perahu mesin untuk sampai kesana. Dalam perjalanan ke Pulau Senua, kite bisa nikmati pemandangan yang luar biasa sebelum sampai ke tujuan. Bila sudah dekat sampai ke pulau, akan tampak air laut yang sangat jernih, sehingga batu karang di dasar laut dengan kedalaman 3 sampai 5 meterpun masih bisa terlihat.
Pulau Senua dari Batu Sindu, Senubing


Bukit Senubing terlihat dari laut saat perjalanan menuju Pulau Senua.

Pulau Senua dari Kejauhan

Sudah hampir sampai

Karang-karang sudah terlihat 10 menit sebelum sampai.
nah yang ini pemandangan Gunung Ranai dari pulau Senua..... :D


Pantai di Pulau Senua
Owya ada yang unik di sini. Bentuk pulaunya kan seperti orang hamil, jadi  kita menyebut nama-nama tempat di sekitaran pulau ini seperti nama anggota badan gitu. Ada perut, kaki, kepala, bahkan telinga. hehheee

Di bagian telinga terdapat sarang burung walet yang terkenal banyak khasiat. Air laut di sekitar sini juga sangat jernih dan terlihat tenang. Terlihat hingga dasar-dasarnya. Bagi yang menyenangi snorkling atau diving. Di sini merupakan tempat yang pas untuk aktivitas tersebut. Yuk dicoba.



lah ok ye.. makin lame makin laen alo e..
andek ite lanjut lak... :D

Friday, May 25, 2012

Lirik Lagu LEGENDA SINDU

Sindu namenye ade di natuna.
Senubing kote awal mulenye.
terukir pule jadi cerite.
di kias jadi suatu legende.

berkisah crite Bujang dan Dare.
berpadu kaseh seakan ese.
restu dinanti tak kunjung tibe.
terlerai kaseh hampe di dade.


Reff:
Pilu di hati merasuk jiwe.
sembilu menyayat membelah due.
tak kuase diri berbuat murke.
tertulis sudah wasiat Bujang Dare.

ini legenda hai Batu Sindu.
tertoreh di hati anak Melayu.
kisahnye terus jadi tauladan.
buruk baeknye jadi acuan.

Tanjung Samak tak jauh bersulang.
lautnye dalam bercurah pantai.
kate orang tue jangan di tentang.
balak di jauh petuah dipegang.

Pulau Sahi memanjang Kaku.
Pantai Tanjung bak betatap muke.
berkaseh baek berperilaku.
serahkan diri pade Yang Kuase.

Batu Sindu

Ini merupakan lirik Lagu Legenda Sindu yang dinyanyikan oleh pak Erson Gempa S.Sos. yang tergabung dalam album Dendang Melayu Natuna yang diluncurkan beberapa tahun silam. Dapatkan VCD nya, mungkin di kantor Dinas Pariwisata ya.
hehheheeee

Thursday, May 24, 2012

Batu Sindu, Wisata Alam Andalan di Natuna

Sindu, untuk sebagian masyarakat Ranai (apa lagi anak gaulnya), tempat ini bukan hal yang asing lagi. Sebuah tempat yang indah untuk melepas kepenatan, menghilangkan segala kecamuk dalam fikiran, seakan menyatu dengan alam.

Yap... Bukit Sindu / Batu Sindu, merupakan tempat yang terletak sekitar 2 km dari pusat kota Ranai. Kalau kita hendak pergi ke Pantai Teluk Selahang, sampai di Bukit Senubing ada jalan masuk kekanan arah ke mercu suar, masuk dan ikuti jalan itu. Agak sulit memang untuk sampai ke sana, dengan jalanan yang menanjak dan berliku, bisa dilalui oleh roda 2 dan roda 4. Tapi setelah sampai di lokasi, itu semua akan terbayar oleh indahnya pemandangan alam yang ada di sana. 💗

Batu Sindu merupakan sebuah semenanjung dengan hamparan bebatuan granit yang besar. Ingat artikel saya tentang Pulau Tiga yang menyebutkan Setekul sebagai salah satu bebatuan pemecah ombak? Nah Batu Sindu merupakan salah satu bebatuan pemecah ombak di Pulau Bunguran sebelah timur. 

"Komplek" bebatuan di Batu Sindu ini makin indah jika dilihat dari bukit Senubing. Birunya Laut Cina Selatan, batu-batu yang seakan tersusun serta dengan sedikit tambahan eloknya Pulau Senoa menjadikan tempat ini merupakan satu dari sekian banyak tempat indah yang ada di Natuna.

Banyak orang yang datang ke sini hanya untuk bersantai bersama keluarga, teman, dan handai taulan. Melepas penat sambil melihat keindahan alam Batu Sindu ini. Dan tak lupa, potopoto tentunya.

aok lah. song ite nong gembo e.
CEKIDOT............

 Batu Sindu






Sesekali kalau kaki kuat, coba untuk turun ke bawah, pemandangan yang lebih alami ditemani dengan deburan ombak yang menghempas pantai dan batu-batu menambah kealamian tempat yang romantis ini.




Sip, itu dulu yang bisa saya bagikan.
Next akan ditambah lagi ya.

Thursday, March 15, 2012

Tentang Penduduk Natuna

Wilayah Natuna yang menurut sejarah merupakan bagian dari wilayah kerjaan Riau Lingga dihuni oleh masyarakat yang sebagian besar bersuku Melayu dan beragama islam. Ini merupakan suku dan agama mayoritas di Natuna. Selain Melayu, ada juga suku Minang dan Tionghoa yang mendiami wilayah Natuna sejak lama. Program pemerintah bernama transmigrasi era Soeharto dulu juga membuat daerah Natuna mulai dihuni oleh berbagai macam suku pendatang, seperti Lampung dan Jawa. Suku Batak juga ada terdapat di Natuna. Kesemuanya hidup rukun berdampingan.

Selain islam, penduduk Natuna juga memiliki kepercayaan Kristen dan Konghucu. Penduduk beragama Kristen berasal dari pendatang yang kebanyakan dari Jawa dan Batak. Terdapat beberapa gereja di Kecamatan Bunguran Timur dan Bunguran Tengah. Sedangkan Konghucu merupakan kepercayaan masyarakat Natuna yang bersuku Tionghoa. Kelenteng yang merupakan tempat ibadahnya terdapat di beberapa tempat yang tersebar di Natuna, seperti di Penagi (Bunguran Timur), Sedanau (Bunguran Barat), Kedai (Midai), dan lain-lain.

Jumlah penduduk Kabupaten Natuna pada sensus yang diadakan tahun 2010 ini tercatat 69.319 jiwa.  Kecamatan Bunguran Timur tercatat sebagai daerah terpadat dengan 23.230 jiwa dan Kecamatan Pulau Laut jadi daerah berpenduduk paling sedikit yakni 2.200 jiwa.

Sedangkan perbandingan laki-laki dan perempuan sebesar 107.05. Artinya laki-laki lebih banyak 7,05 persen dari perempuan. Secara nominal, laki-laki 35.780 orang dan perempuan 33.449 orang.

"Melihat grafik pertumbuhan penduduk di Natuna dalam kurun sepuluh tahun terakhir, penduduk tumbuh 2,79 persen," kata Kepala BPS Natuna Erida Gustety.

Penduduk Natuna, via antarakepri.com
Angka pertumbuhan sebesar 2,79 persen ini kata Erida, tergolong cukup tinggi. Meskipun dibanding daerah lain di Kepri, pertumbuhan penduduk untuk Natuna masih kecil. Sedangkan rata-rata pertumbuhan penduduk di Kepulauan Riau mencapai 5,03 persen.

"Sedangkan untuk rata-rata anggota rumah tangga adalah 17.961 rumah tangga dibagi jumlah penduduk 69.319 jiwa. Berarti banyaknya jiwa dalam satu rumah tangga secara rata-rata sebanyak 3,86 orang. Rata-rata anggota rumah tangga di setiap kecamatan berkisar antara 3,55 orang sampai dengan 4,22 orang, dan tertinggi di Kecamatan Pulau Laut yakni 4,22 orang," terangnya.

Dikatakan, secara berurutan, Kecamatan Bunguran Barat, menjadi daerah terpadat kedua setelah Bunguran Timur yakni 10.827 jiwa. Kemudian disusul dengan Midai, 5.015 jiwa, Pulau Tiga 4.822 jiwa, Serasan 4.458 jiwa, Bunguran Timur Laut 4.296 jiwa, Bunguran Utara 3.807 jiwa, Bunguran Tengah 2.830 jiwa, Serasan Timur 2.723 jiwa, Subi 2.576 dan Kecamatan Bunguran Selatan 2.535"

"Pertumbuhan penduduk di Natuna saat ini karena didukung oleh arus migrasi. Sekarang banyak penduduk yang masuk. Karena ada transportasi laut dan udara yang cukup mendukung, sehingga memudahkan arus keluar masuk barang dan juga mobilitas penduduk,"

Sedangkan Kecamatan Serasan dan Serasan Timur mengalami pertumbuhan penduduk yang terendah yakni -1,19 persen dan -0,08 persen. Pertumbuhan ini lanjut Tety, tergolong sangat rendah, dimana disebabkan banyaknya migrasi keluar untuk melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi atau pun migrasi untuk bekerja.

sumber : Sijori Mandiri