Friday, August 18, 2017

Batu Alif, Pesona Bebatuan Granit di Bunguran Timur

Siapa yang tak kenal Taman Batu Alif atau Alif Stone Park. Komplek bebatuan granit besar ini berada di Desa Sepempang Kecamatan Bunguran Timur. Taman batu ini merupakan pelopor tempat wisata baru di Natuna. Sebelumnya masyarakat Natuna "hanya" mengetahui tempat wisata adalah pantai Teluk Selahang, Pantai Cemaga dan beberapa pantai lain yang sudah "tersedia". Namun Alif Stone Park ini menyajikan sajian yang berbeda, wisata bebatuan granit yang memang sudah ada sejak lama namun kurang maksimal dimanfaatkan. Bebatuan granit banyak tersebar di Natuna, baik di pantai maupun di gunung. Ukurannya beragam, mulai dari kecil hingga sebesar gedung. 
Alif Stone Park, foto diambil tahun 2012
Alif Stone Park merupakan salah satu dari sekian banyak hamparan batu granit di pantai yang Natuna miliki. Saya ingat, ketika tahun 2004-2006 (mohon koreksi jika keliru) saya melihat brosur taman ini di kantin sekolah. Media promosi sederhana yang kala itu internet belum banyak yang mengenal, apalagi di tempat saya. Taman Batu Alif dikelola oleh swasta, adalah bapak Both Sudargo yang mengelola tempat tersebut. Beliau pandai betul membaca situasi potensi wisata di Natuna.

Saya baru sadar, ternyata dulu saya pernah piknik di sini bersama teman-teman, namun tempat ini belum seterkenal sekarang. Taman Batu Alif terletak di Desa Sepempang, tidaklah sulit menemukan tempat ini, disisi kanan jalan jika kita jalan dari pusat kota Ranai. Tumpukan bebatuan yang besar yang menyambut perjalanan kita ketika akan memasuki Desa Sepempang itulah lokasi Taman Batu Alif.

Penamaan Taman Batu Alif bukanlah tanpa sebab, adalah batu berukuran besar yang tegak berdiri layaknya huruf Alif, huruf pertama dalam susunan huruf bahasa Arab menjadi alasan tempat ini bernama Alif Stone Park. Saat saya pergi kesini untuk pertama kali dahulu yang ada hanya satu pondok kecil dan antara bebatuan dihubungkan semen menyerupai dinding. Tahun demi tahun berlalu, melalui media sosial saya memperhatikan Alif Stone Park sangat gencar melakukan perubahan disana-sini.  

Monumen "woodhenge" Batu Alif. 😃
Tahun 2012 saya menyempatkan bermain di Taman Batu Alif ini, memang sudah banyak perubahannya, saat itu era media sosial sudah bangkit sehingga Alif Stone Park sudah banyak dikenal hingga keluar. Bahkan tempat ini selalu menjadi tempat wajib yang dikunjungi peliput-peliput dari TV Nasional ketika sedang meliput di Natuna. Tiap kali mudik saya ingin sekali bermain kesini, namun karena waktu mudik yang tidak lama, ditambah dengan banyaknya kegiatan, mengunjungi Alif Stone Park hanya tertulis dalam draft yang tidak dicoret, karena tak kunjung didatangi. Baru kemarin, saat mudik lebaran 2017 saya dan adik menyempatkan diri berkunjung kesana.

Taman Batu Alif benar-benar serius memake-up dirinya, guna mendukung pesatnya perkembangan pariwisata di daerah Natuna, serta menjadi alternatif wisata "Pantai Batu" yang saat ini sudah banyak menunjukkan dirinya. Namun tak seperti yang lain, Taman Batu Alif melakukan make upnya dengan matang. Setelah hampir 12 tahun sejak promosinya yang pertama. Kini Taman Batu Alif menjadi taman batu yang indah, disela-sela bebatuan dibuat jalan bagai lorong-lorong gua, tanaman-tanaman hias dibudidayakan dan disusun sedemikian rupa layaknya sebuah taman, pokoknya instagramable banget lah. Bahkan sudah ada homestaynya disini. Dengan fasilitas yang siap memanjakan kamu jika ingin menginap di Taman Batu Alif dengan biaya 800.000 per malam.
Penunjuk arah -ke hati mu-
Kinipun di sekitaran taman sudah diberi pagar. Saat masuk, monumen Jungkong yang disusun ala-ala Stonehenge di Inggis sudah mengucapkan selamat datang kepada kita. Karena monumennya dari kayu bukan batu, bolehlah kita sebut dengan woodhenge, wkkwkwk. Berjalan masuk kedalam kita melewati gerbang yang instagramable, ada dua jalan setelah gerbang masuk, lurus menuju homestay, dan belok kanan untuk menuju taman. Kami memasuki taman (karena gak ada uang mau ambil homestay), dan dikenakan biaya 5.000 perorang, untuk biaya perawatan dan kebersihan katanya. Jumlah yang sepadan mengingat taman Batu Alif ini sangat bersih dan tertata rapi.
 
Tanaman hias, dan Batu Bertanya, serta lafadz Allah pada Batu Bertanya
Plang penunjuk arah adalah objek yang pertama kali saya lihat ketika masuk. Dari papan tersebut, terdapat papan-papan penunjuk lokasi-lokasi wisata di 2 arah yang berbeda, satu arah ke taman kupu-kupu dan batu bertanya. Arah yang lain menunjukkan ke arah bebatuan di pantai yang terdiri dari kerangka paus, ayunan laut dan pemandangan pantai. 
 
Saya memilih untuk menuju ke arah taman kupu-kupu dan batu bertanya terlebih dahulu, menyusuri bongkahan-bongkahan batu granit yang sudah alam "susunkan" dan melewati tanaman-tanaman hias yang tertata rapi dan indah, cahaya matahari menyelinap disela-sela daun kelapa yang batangnya tinggi menjulang. Tak sebegitu jauh dari simpang penunjuk arah tadi, ada tanah yang cukup luas, juga di sini tempat berakhirnya jalan semenisasi yang dibuat, ujung jalan dibuat bulat, serta ada panah penunjuk arah kesebuah bongkah batu yang "bertumpak", tulisannya adalah Asking Stone (Batu Bertanya).
Penampakan Homestay dari samping, dan Kerangka Ikan Paus.
Saya mendekati batu itu sambil bertanya-tanya kenapa namanya batu bertanya? Namun hanya selintas saja pertanyaan itu menggema direlung tanda tanya saya, dan akhirnya sebuah tanya terjawab kenapa namanya batu bertanya. (bingung sendiri gueh nulisnya). Batu Bertanya yang berada di taman Batu Alif ini hanya merupakan beberapa tumpukan batu seukuran sedang, namun pahatan alami pada batu tersebut menyerupai tulisan Allah dalam huruf arab. Mungkin inilah Batu Bertanya itu ya. Kenapa namanya Batu Bertanya sementara tidak ada tulisan atau tanda yang menunjuk ke arah atau simbol "tanya?", makanya itu namanya batu bertanya. (bingung lagi kan). wes ah skip jek. Wkwkwk.

Setelah dari Batu Bertanya yang penuh tanda tanya serta membuat kita bertanya-tanya tadi, saya menuju ke arah pantai. Dari simpang tempat penunjukan arah tadi, menuju arah pantai dan kembali melewati lorong yang dibuat oleh tumpukan-tumpukan batu granit, melewati sisi homestay, dan kerangka paus. Konon kerangka ini berasal dari ikan paus (ya iyalah) yang mati terdampar di pantai Pengadah sekitar tahun 2007 lalu. Kerangkanya dipajang di sini. Setelah melewati tempat tadi, barulah pesona Batu Alif yang memanjakan mata dan terkenal itu tampak. Susunan bebatuan yang terhampar di lautan serta tumpukan-tumpukan batu berbagai ukuran menghiasi alam serta Pulau Senua yang nampak dari jauh menjadi pelengkap panorama alam di taman batu ini.
Ayunan Laut kekinian.
Antar bebatuan dibuat jembatan sebagai penghubung. Spot-spot foto yang instagramable dibuat untuk menarik minat wisatawan berkunjung ke sini. Ayunan lautpun (yang memang sedang trend di beberapa tempat wisata pantai Indonesia) dibuat dengan dekorasi sederhana namun berkesan, di salah satu batu dipasang bendera merah putih. Lalu ada semacam hall of fame, gate kecil dibuat semacam frame foto dengan tulisan welcome to Alif Stone Park dengan latar belakang Batu Alif yang menjadi ikon utama.
-sepertinya hal yang menarik, untuk setiap tempat wisata di Natuna dipasang bendera Merah Putih, selain sebagai objek foto wisatawan, juga mendandakan setianya kita kepada NKRI, cieeileeh-
Spot foto instagramable

Pesona Batu Alif
Di sini kita bisa berenang sepuasnya, namun hati-hati dengan jenis-jenis mahkluk hidup yang menempel di bebatuan yang terendam laut, biasanya tajam dan dapat melukai hati kaki. Ada juga penyewaan alat-alat snorkling jika ingin menikmati surga bawah laut Natuna, dan juga penyewan kano dengan biaya 2.5000/jam jika ingin bermain laut namun tak ingin berbasah-basahan. Selain itu, dikala senja Batu Alif juga merupakan spot foto unik yang bertema sunset dan siluet. Sebuah tempat yang one for all banget di Natuna ini.
Last, but not least, siluet sunset bareng adek puan semata wayang. Batu Alif.
Setelah mendapatkan beberapa gambar, dan berhubung mataharipun sudah beranjak keperaduannya. Kami pun segera pergi karena malam sudah hampir tiba, -pamali orang-orang tua dulu bilang kalau magrib masih di luar rumah-. hhe. Belum puas memang, karena masih dibilang sebentar dan belum mencoba semua fasilitas disini. Namun setidaknya bisa mengobati rasa pensaran saya akan tersohornya taman Batu Alif yang melegenda ini. Juga ada bahan untuk pamer dengan rekan-rekan di KalTim dan dimana pun tempat saya merantau nanti.
 
So, enjoy Natuna!!!








More info tentang Alif Stone Park, bisa langsung kepoin medsosnya di : 
FB : facebook.com/alifstoneparknatuna/
IG : @alifstoneparknatuna
Telp : 0812 2605 8197


Wednesday, August 16, 2017

Sejuba yang Kian Mempesona

Perkembangan teknologi saat ini sudah menjadi bagian hidup sehari-hari. Bahkan penggunaannya merupakan kebutuhan primer sebagian masyarakat. Salah satu teknologi yang berkembang pesat saat ini adalah penggunaan jejaring media sosial. Media sosial sangat menjamur penggunaannya di negeri ini. Hal ini jika dimanfaatkan dengan baik maka akan menghadirkan hasil yang positif pula. Media sosial sangat ampuh digunakan sebagai ajang promosi. Mengenalkan produk, dan mengshare berbagai tempat baru yang kerap dilakukan oleh para penggiat media sosial. 

Hasilnya sangat ampuh untuk mendongkrak kunjungan wisatawan. Dan untuk menyeimbangkan hal tersebut, berbagai tempat wisata juga berlomba mempercantik diri agar lebih instagramable guna mendapat endorse gratis yang apik dari pengguna media sosial. Ini dilakukan tak lain adalah untuk membuat spot foto yang bagus yang kelak akan diposting ke akun media sosial para netizen. Para penggiat media sosial rata-rata mengupload foto lokasi wisata ini dengan tujuan mempromosikan tempat wisata baru, dan syukur-syukur foto mereka akan direpost oleh akun resmi para traveler Indonesia bahkan dunia dan juga dari kementrian pariwisata dan akun-akun lain yang berpengaruh serta memiliki banyak followers.
Perbandingan foto pantai Sejuba setelah 3 tahun.
Salah satunya adalah pantai Sejuba. Pantai Sejuba masuk dalam wilayah administrasi Desa Sepempang Kecamatan Bunguran Timur. Pantai yang terletak di perbatasan dengan Kecamatan Bunguran Timur Laut ini memiliki susunan dan tumpukan-tumpukan batu yang cantik. Tumpukan bebatuan granit khas pantai Natuna. Sebagian sebut bebatuan ini sebagai batu bersantai. Saya terkahir ke pantai ini tahun 2014 lalu dan sempat mengambil beberapa gambar. Setelah lama tidak kesana, akhirnya saat mudik lebaran kemarin menyempatkan diri bermain kembali ke pantai ini.
Pantai Sejuba

Pantai Sejuba, versi kekinian.

Ada banyak perubahan ternyata, pantai Sejuba terkena virus kekinian dengan memoles bebatuan-batuannya. Tumpukan-tumpukan batu yang terhampar dari bibir pantai hingga agak ke tengah laut digabungkan dengan jembatan-jembatan kayu yang dibuat. Sementara di batu terakhir ditancapkan tiang, lengkap dengan kibaran bendera merah putihnya. Ada juga ayunan yang dibuat di laut. Juga sedang dibuat pondok untuk beristirahat yang masih dalam pengerjaan. Tumpukan-tumpukan batu ini sebenarnya memiliki nama, ada yang sudah bernama dari dulu, juga ada yang diberi oleh remaja hits kekinian.
Bendera Merah Putih

Tambahan ayunan laut yang kekinian banget
Masih di sekitaran Sejuba, ada tumpukan batu yang diberi nama Batu Cinta, dan saya yakin sebenarnya bukan ini nama aslinya. Entah motivasi apa mereka memberikan nama ini. Hhe. Hamparan bebatuan ini juga tak kalah bagusnya dengan bebatuan yang ada di tetangganya. Lalu bergeser lagi ke utara, ada pelabuhan nelayan yang juga instagramable banget. Pelabuhan sepanjang kurang lebih 200 meter ke laut ini dihiasi oleh bebatuan granit di pantai dan laut serta memiliki air yang jernih, dengan latar belakang gunung Ranai yang gagah berdiri. Tempat ini menjadi lokasi hunting favorit anak hits Natuna untuk diupload ke media sosial. Saya jadi ikut-ikutan untuk mengambil gambar di sini, dengan bekal action cam pinjaman punya adik, jepret-jepret deh, dan hasilnya not bad lah, meski belum kaya yang pro pro gitu. Lumayan dapat 100 lebih like. Jek pade ndek. wkwkwk
Ngandiel foto

Monday, August 14, 2017

How to get to Natuna

Indonesia consists of thousands of islands which spread from Sabang to Merauke. Each island has a unique characteristics. Indonesia has a lot of cultures, arts, and beautiful nature that each island has to offered.

Natuna is one of them. Located in the north frontier which I often wrote in several articles on my blog. Natuna has beautiful scenery, good art, culture, etc. I have posted almost all parts in my blog. But I was thinking there’s something’s missing. I felt there was something that I have yet posted in my blog.
Ah yes, here it is : “how to go there?

It is useless when I have posted all about Natuna but I haven’t shared on how to go there, isn’t it? And I will do it right now. Being isolated makes the access to go there difficult. If you want to go there, there are 2 ways to reach Natuna, by plane or by sea. 

Read : Indonesia version

Air Transportation : 
We can go to Natuna by plane. Up until now, only one airport which serve flights to Natuna. It is Hang Nadim International Airport in Batam, so wherever you are, you have to go to Batam first, and then you can take the next flight to Natuna.
Plane Route
Or you can go there from Jakarta, but you have to get the first flight (in the early morning) to Batam, and take the 9 o’clock connecting flight to Natuna. So if you’re from other parts of Indonesia (e.g : Borneo or Java), you must go to Batam and stay overnight, then in the morning you can continue your journey to Natuna. So you have to find someplace to rest for the night. It only takes 1 hour flight from Batam to Natuna. The ticket price is varied, it depends on the time or season. The cost is around IDR 800k - 1.300k.
 Note : don’t go to Batam on Saturday, unless if you want to stay in Batam for 2 more nights. Because there is no available flight to Natuna on Sunday.

Sea Transportation : 
Because of Natuna is an islands. Sea transportation is the prime mode transportation for the local people. If you are in Java and you want to go to Natuna, there are 2 ways to get there. 
Ship Route

First, from Tanjung Priok Port (Jakarta) by PT Pelni ship. The routes are from Tanjung Priok (Jakarta) - Belinyu (Bangka Belitung) - Kijang (Bintan) - Jemaja (Anambas) - Siantan (Anambas) - Natuna. It will take about 4 days and 3 nights. Departure is scheduled on Thursdays from Tanjung Priok Port. 

The second route is from Tanjung Perak Port in Surabaya East Java, the routes you will pass are Tanjung Perak (Surabaya, East Java) – Pontianak (West Borneo) - Serasan (Natuna) - Midai (Natuna) - Natuna. It will take 4 days and 3 nights as well. The departure from Tanjung Perak is scheduled on Sundays. 

The ticket price for one trip with KM Bukit Raya (PT Pelni) are different, based on departure origin. If you are from Tanjung Priok or Tanjung Perak, the fares are less than IDR 500k for economy class. Another way (and the cheap one) to go there is using government ship, we usually call it kapal perintis, from Tanjung Pinang Port or Pontianak Port, it will take about 2 days 2 nights. And that is how to get to Natuna, you can choose which mode of transportation you want to use. Sea or airlines. Or you can combine both of them.
Kapal-kapal Perintis (Government Ships)
But you have to notice one thing.
These routes which I explained only take you to Bunguran Island, specially to Ranai, the capital city of Natuna, the biggest Island in Natuna. If you wanna go to the other islands or the subdistrics in Natuna such as Pulau Laut, Pulau Tiga, Sedanau, Midai, Serasan, & Subi, you have to use other sea transport to reach them.
Coral in Senua Island


Example :
1. Sedanau (capital city of West Bunguran subdistrict). You can use speedboat from Binjai Port, or you can use pompong/mutur (traditional ship) from Selat Lampa, Binjai, Kelarik, or Batubi Port. 
Mutur/pompong, (traditional ship)

2. Islands in Pulau Tiga and West Pulau Tiga Subdistric. You can use pompong/mutur from Selat Lampa Port. It takes about 1.5 hours from Ranai City to Selat Lampa Port by vehicle.

3. Islands in West Bunguran, North Bunguran and Pulau Laut. You can use mutur (traditional ship) from Kelarik Port. It takes about 2 - 3 hours from Ranai City to Kelarik village.

4. Pulau Laut Subdistrict, you can use government ship from Selat Lampa or Penagi Port. You can use mutur from Kelarik Port as well.


5. Midai and Suak Midai Subdistrict, you can use government ship from Selat Lampa Port and Penagi Port. It will take about 4 – 7 hours. Or you can board KM Bukit Raya to Tanjung Perak, and you can stop in Midai. 

6. Serasan and East Serasan Subdistrict. To go there, you can use the same transportation in Midai, KM Bukti Raya to Tanjung Perak Surabaya, and you stop in Serasan, or with government ship you can reach the island as well. 

7. Subi Subdistrict. Going to Subi Island can be reached by government ship the same as to Serasan.


The ticket price is varied. It depends on destination and the types of transportation you use. Its about IDR 15k to 200k.
Sindu Stone, Bunguran Island

After reaching the Natuna Islands, any fatigued will be paid of by the fantastic sceneries that awaits you. The granite boulders, the beaches, mountain, and beautiful corals will welcome you to revel in.

So, enjoy amazing Natuna.

Thank you. :)

Sunday, August 13, 2017

Pangkalan Brandan Lautan Api : Perjuangan Laskar Minyak Untuk Kemerdekaan dan Kemandirian Energi

Selama ini kebanyakan dari kita hanya mengetahui tentang peristiwa Bandung Lautan Api, itu juga karena ada dilirik lagu nasional yang kerap kita dengar dan nyanyikan dulu. Namun sebenarnya, masih banyak lagi “lautan api–lautan api” yang ada di Indonesia ini, tentu dengan ceritanya yang masing-masing pula. Salah satunya adalah Pangkalan Brandan. Peristiwa Pangkalan Brandan Lautan Api merupakan peristiwa besar dalam sejarah pasca kemerdekaan bangsa Indonesia, namun peristiwa ini kerap kali terlupakan. Padahal peristiwa Pangkalan Brandan Lautan Api ini merupakan deretan peristiwa penting di sektor energi Indonesia yang telah susah payah diperjuangkan oleh para pejuang. Bagi kamu yang menekuni ilmu energi, Perjuangan Laskar Minyak di Pangkalan Brandan patut untuk kamu teladani.
Pangkalan Brandan Lautan Api, via malahyati.ac.id
Setelah minyak bumi ditemukan oleh AJ. Ziljker pada akhir 1980an. Pangkalan Susu berubah menjadi sebuah kota industri kecil dengan hasil buminya itu. Oleh Belanda, guna memperlancar segala prosesnya, perusahaan minyak pun dibentuk. Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) adalah perusahaan minyak yang paling lama dimasa penjajahan Belanda yang menyedot hasil bumi Pangkalan Susu ini. Kedigdayaan Belanda akhirnya mengendur ketika invasi negara adidaya Jepang ketika mereka menginvasi nusantara.

Meski sudah melakukan perlawanan, namun Belanda dipaksa kalah dan mundur oleh Jepang yang saat itu juga ngotot menginginkan minyak bumi guna mendukung peralatan perangnya dipanggung perang dunia kedua. Fasilitas-asilitas perminyakan juga sempat dihancurkan oleh Belanda sesaat sebelum invasi Jepang. Namun bukan Jepang namanya jika tak bisa memperbaikinya. Malah tercatat produksi minyak dimasa kependudukan Jepang (yang hanya kurang lebih 3 tahun) lebih besar dari total produksi Belanda dimasa penjajahannya!

Para pekerja minyak dari Indonesia (mantan pekerja minyak dimasa penjajahan Belanda) juga dipekerjakan oleh Jepang dimasa kekuasaannya di Nusantara. Beberapa diantaranya mendapat posisi yang baik, disekolahkan, dan juga diberi pelatihan militer lewat satuan-satuan yang dibentuk oleh Jepang. 

Baca : Sejarah Perminyakan di Pangkalan Brandan
 
Seiring berjalan waktu, kekuatan pasukan perang Jepang di Pasifik mulai mengendor, pada hari kamis tanggal 4 Januari 1945, komplek Perusahaan Tambang Minyak Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu mendapat serangan mendadak, pesawat jenis Pembom Sekutu melakukan bombardir, Kilang Minyak ditembaki senapan mesin, para buruh minyak lari lintang pukang keluar kilang menyelamatkan diri. Akibatnya, instalasi tambang minyak mengalami kerusakan hebat, korban jiwapun tidak sedikit yang jatuh baik dari kalangan buruh tambang minyak, pasukan Heiho maupun tentara Jepang.

Akan tetapi, sekali lagi Kilang dengan sangat cepat direhabilitasi, karena Jepang sangat membutuhkan minyak untuk mesin-mesin perangnya. Puncaknya tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, Bom atom dijatuhkan oleh Angkatan Udara Amerika Serikat di Hiroshima dan kemudian di Nagasaki, kedua kota tersebut kemudian hancur musnah seketika. Akhirnya Pemerintahan Jepang menyerah kalah tanpa syarat dengan Pihak Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 sekaligus mengakhiri kedigdayaan Jepang dalam Perang Dunia II. Hal ini langsung dimanfaatkan oleh sang Proklamator kita untuk memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. 

Berita itu menyebar dengan cepat, dengung Proklamasi telah didengar rakyat Pangkalan Brandan. Sebuah peristiwa bersejarah terjadi di Pangkalan Brandan, Bendera Merah Putih berkibar dengan megah di puncak Pretopping Kilang Minyak Pangkalan Brandan yang pada waktu itu masih dikuasai oleh Jepang. Aksi pengibaran bendera di Puncak Pretopping itu dikoordinir oleh BPI (Barisan Pemuda Indonesia) dan pelakunya adalah Bedul, peristiwa heroik itu sungguh menakjubkan dan membanggakan. Dan itu sebagai pertanda turunnya bendera Bola Merah Jepang, Hinomaru. 

Hingga puncaknya pada 19 Agustus 1945 di Komplek Tambang Minyak diadakan Upacara pengibaran Sangsaka Merah Putih di Pangkalan Brandan dan dihadiri oleh Panglima Tentara Jepang, sebagai tanda pengakuan resmi dari masyarakat Langkat dan Tentara Jepang yang sudah menyerah kalah. Usai upacara pengibaran sangsaka Merah Putih selanjutnya dibentuk KNI (Komite Nasional Indonesia) dan laskar-laskar pejuang kemerdekaan serta laskar-laskar buruh yang berkantor di Jl. Thamrin, dipimpin oleh pemuda-pemuda dan buruh, diantaranya Arifin Pulungan, Aminullah dll. 
Puncak Pretopping inilah Bendera Merah Putih Berkibar, via edyfranjaya.wordpress.com
Penguasaan Pangkalan Brandan secara mandiri oleh bangsa Indonesia membuat Sekutu (baca : Belanda) geram. Ternyata Belanda belum benar-benar ikhlas melepas sepenuhnya Indonesia. Apalagi sumber ekonomi mereka nyaris musnah, seiring perebutan perkebunan secara besar-besaran di wilayah Jawa dan Sumatra. Belanda masih ingat betul kejayaannya dimasa lampau itu, hingga masih ingin mengulangnya meskipun melanggar perjanjian yang telah disepakati.

Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H. J. van Mook melalui Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ultimatum agar pemerintah RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km dari daerah perkebunan dan daerah sumber alam. Mook menyampaikan pidato diberbagai stasiun radio, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggarjati. Lebih dari 100.000 tentara terlatih, dengan persenjataan modern, lengkap dengan peralatan berat hasil hibah tentara Inggris dan Australia akan dikerahkan.

Serangan dilakukan disejumlah daerah strategis sejak 20 Juni 1947 hingga 22 Februari 1948 atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer Belanda I, sementara oleh Belanda operasi ini dinamakan Aksi Polisionil. Tanggal 21 Juli 1947 Belanda menuju Sumatera Utara, dengan Pangkalan Brandan yang menjadi sasaran utama, serangan dimulai dari Tandemhilir selanjutnya mengarah menuju Stabat. 
Peralatan Perang Pasukan Sekutu, via edyfranjaya.wordpress.com
Pada tanggal 23 Juli 1947, setelah terbentuk ”Komando Langkat Area” yang diprakarsai oleh Letnan Satu Zakarsdjah Aksdjah, maka pada keesokan harinya disusun lengkap struktur ”Komando Langkat Area” dan pimpinan komando dipegang oleh Mayor Widji Alvisah, yang sebelumnya adalah Komandan Batalyon I Resimen I Divisi X TRI merangkap menjadi PMC (Plantselijik Militer Comandant) di Tanjung Pura.
---Ketika itu para pejuang yang tergabung dalam Komando Langkat Area bertekad : dari pada hidup dibawah telapak kaki penjajah, lebih baik mati berkalang tanah, demikian pula keberadaan tambang minyak Brandan, dari pada dikuasai Penjajah, lebih baik musnah.---
Pada tanggl 31 Juli 1947, Komando Langkat Area mengadakan musyawarah dan mengambil keputusan bahwa kota Tanjung Pura tidak dapat dipertahankan lagi, maka diputuskan untuk membangun garis pertahanan baru disebelah Barat Laut, kerena sudah diperhitungkan pihak pejuang, bahwa pasukan Belanda akan melakukan penyerangan dari arah darat, laut dan udara menuju kota Pangkalan Brandan. 
Para Pejuang Kemerdekaan, via edyfranjaya.wordpress.com
Sementara Komando Langkat Area melakukan reorganisasi pasukan dalam tiga kelompok pada tiga sektor, berasal dari penyatuan Lasykar Rakyat yaitu Laskar Napindo yang bermarkas di jalan Dempo, Laskar Pesindo yang bermarkas di jalan Imam Bonjol (Gang Kunai) dan Laskar Harimau Liar dari kesatuan Batalyon 17 bersama komandannya Amir Hanafiah bermarkas di desa Alur Dua Pangkalan Brandan. Bersama dengan pembagian sektor oleh Komandan Batalyon 17 digabung dengan Batalyon Resimen I Divisi KTRI.

Selanjutnya konsolidasi dilakukan dan pelaksanaan pembagian sektor sebagai berikut : Batalyon II Hisbullah yang berasal dari Langkat Hulu dan Batalyon III Hisbullah yang berasal dari Medan Utara, digabungkan menjadi satu kesatuan tim dibawah pimpinan Rachmad Buddin. Batalyon Langkat Kesatria Pesindo dibawah pimpinan Amir Hanfiah yang merupakan sayap tengah pertahanan Pangkalan Brandan Area, karena terdapat Jalan Raya Tanjung Pura Pangkalan Brandan yang diperhitungkan akan menjadi sasaran utama Militer Belanda.

Batalyon TPKA & TM yang berada di bawah pimpinan Mayor Nazaruddin beserta kesatuan kesatuan kecil yang berasal dari Laskar Napindo Teluk Aru dibawah pimpinan Ahib Lubis dan Zainal Abidin dan Barisan Harimau Liar dibawah pimpinan Habib Umar yang tergabung dalam Batalyon 17, diberi tugas untuk mempertahankan kota Pangkalan Brandan di sebelah Utara hingga muara sungai Babalan dan daerah pantai di sekitar Teluk Meku yang terletak disebelah Timur Laut Pangkalan Brandan.

Sektor pertahanan ini merupakan sayap kiri medan pertahanan Pangkalan Brandan Area, dan yang menjadi Komandan Front sayap kiri ini ialah Mayor Nazaruddin yang juga Komandan Batalyon TPKA & TM, merangkap menjadi Komandan Militer kota (PMC).

Barisan Merah yang berasal dari Medan Utara dibawah pimpinan M. Djusuf, membangun medan pertahanan di daerah Bukit Mangkirai, terletak sekitar 4 km di sebelah Barat Laut Tanjung Pura, pertahanan Bukit Mangkirai ini adalah bagian dari pada sayap tengah pertahanan Pangkalan Brandan Area. Yang menjadi komandan front sayap tengah ini, ialah Komandan Langkat Area yaitu Mayor Widji Alvisah.

Tanggal 3 Agustus 1947, Pertahanan baru Brandan Area itupun telah selesai dibangun. Sementara, Pasukan Belanda mencoba mengadakan penyerangan dari darat, laut dan udara. Pembersihan, begitu istilah mereka. Mereka mulai dari aksi penerobosan Front Medan Area, selanjutnya menyerang dan merebut kota Binjai, kemudian kota Stabat diduduki dan membuat benteng pertahanan di pangkal jembatan Sei Wampu di kota Stabat, hal ini dapat dimengerti sebagai suatu pertanda bahwa Belanda sudah mulai melakukan ekspansinya ke daerah Langkat dan kalau begitu pastilah akan merampas Kota Pangkalan Brandan, kota tambang minyak sumber energi perang.

Menurut cacatan dari buku sejarah Brandan Bumi Hangus yang disusun tim Pemkab Langkat, pasukan sekutu yang dikenal dengan nama Komando Batalion 4-2, mengerahkan pasukan infantri didukung satu peleton Carrier, Panser serta satu Detasemen binaan Poh An Tui. Setelah berhasil melumpuhkan pasukan pejuang di Stabat, 5 Agustus 1947 pasukan sekutu berhasil melintasi Tanjungpura dan tertahan di Gebang oleh perlawanan pejuang. Sementara itu di Pangkalan Brandan, terjadi gejolak dan kecemasan karena mengetahui sasaran pasukan sekutu berupaya merebut Tambang Minyak tersebut. 
Pejuang dibatas Demarkasi Gebang, via edyfranjaya.wordpress.com
Pasukan Belanda menghimpun kekuatan di Tanjung Pura, menyusul kemenangan mereka dalam beberapa rangkaian pertempuran. Namun untuk mencaplok kota Pangkalan Brandan pasukan Belanda menemui jalan buntu, rangkaian serangan Belanda dapat digagalkan oleh para pejuang. Pertempuran itu terjadi di batas Demarkasi Gebang, banyak korban jatuh disana, perang di Batas Demarkasi Gebang merupakan salah satu tonggak sejarah perjuangan bangsa yang penuh heroisme! Dalam pertempuran itu, Sekutu mengakui keunggulan para pejuang yang berjuang dengan senjata sederhana, pasukan Sekutu dan Belanda berhasil dipukul mundur, dan balik arah kembali ke Tanjung Pura.

Sementara itu, percaturan politik dan militer terus berjalan, disaat kekuatan tentara Sekutu di tarik dari Wilayah Indonesia, kesatuan Militer Inggris dan Gurkha meninggalkan perairan Indonesia. Namun pasukan Kolonialis Belanda tetap bertahan, mereka menampik kemustahilan dan tidak akan mengabaikan sumber kekuatan energi perang yang sekaligus mendatangkan keuntungan keuangan yang cukup potensial itu. Pangkalan Brandan, yang mengandung kekayaan bahan tambang yang dapat dijadikan tempat konsentrasi kekuatan merupakan posisi yang strategis yang bisa digunakan sebagai batu loncatan untuk melakukan penyerbuan ke daerah Aceh kelak.
Karena itulah sebagian besar pasukan kita ditumpahkan mundur ke Pangkalan Brandan untuk bersiap siaga menghimpun semua kekuatan revolusi, dari garis belakang mengalir pasukan-pasukan baru, bersenjata aneka macam bedil dan senapan mesin, peluru dan mortir hasil rampasan dari Pasukan Jepang. Sepanjang front mereka siaga untuk mempertahankan tambang minyak dan daerah ujung pertahanan Langkat Area belahan Sumatera Timur bagian Utara. Pertahanan gigih dan mati-matian dipersiapkan setangkas semangat yang dipunyai dengan tekad “daripada berputih mata lebih baik berputih tulang, daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah”.

Kesibukan Tentara Belanda semakin meningkat, yaitu sejak tanggal 6 Agustus sampai dengan 12 Agustus 1947, pada setiap harinya terus terjadi kontak senjata di Front Gebang dan Bukit Mengkirai, pertahanan pejuang sangat solid. Namun sama sekali tidak menyurutkan misi Belanda untuk menguasai Kilang Minyak Pangkalan Brandan. Selanjutnya, Belanda menghimpun kekuatan dengan mendatangkan kekuatan induk, yaitu Batalyon 4-2 RI yang berkedudukan di Binjai, dipindahkan dan bermarkas di Tanjung Pura.

Dalam pada itu pesawat udara musuh yang terdiri dari Mustang, Capung dan Catalina, giat melakukan pengintaian udara diatas Kota Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu dan daerah daerah pertahanan KSBO (Komando Sektor Barat Oetara). Pesawat tempur jenis pemburu itu melayang-layang di atas kota, terbang rendah untuk pamer kekuatan. Mereka ingin membuat gentar hati rakyat dan Pejuang di Pangkalan Brandan. Di Front depan, pasukan Infanteri Belanda juga mengadakan “Show off Force”, menderu diatas jalan berdebu dibayangi kekuatan Tank, kenderaan lapis baja dan meriam-meriam.

Tanggal 8 Agustus 1947, KSBO mendapat laporan dari Badan Intelijen kita yang baru pulang dari penyelidikan di daerah pendudukan Belanda di Tanjung Pura, menerangkan bahwa Belanda menghimpun sejumlah besar pasukan di Tanjung Pura dan ada tanda-tanda yang jelas bahwa musuh akan segera melancarkan serangannya secara besar-besaran terhadap Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu guna merebut tambang minyak.

Pada tanggal 11 Agustus 1947, informasi penting ini ditanggapi secara serius oleh Komandan KSBO, karena cocok sekali dengan keterangan mata-mata musuh yang baru ditangkap. Namun kapan waktu penyerangan Pasukan Belanda itu ke Pangkalan Brandan, mereka bergerak dari mana dan berapa jumlah kekuatannya belum dapat diketahui, sehingga menciptakan suasana semakin tegang.

Sementara, pihak Belanda melakukan “Gertak Sambal” melalui Radio Hilversum di Jakarta, pada tanggal 11 Agustus 1947 menyiarkan berita propoganda bahwa Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu telah jatuh ketangan mereka, walaupun kedua Kota itu belum diduduki, ini adalah taktik yang biasa mereka pergunakan selama ini bila hendak menduduki suatu kota, psywar untuk menakut-nakuti musuh guna memperlemah semangat juang dan bertahan bagi para pejuang di front depan atas kota yang mereka incar untuk diduduki. 

Berbagai manuver oleh pasukan Belanda, diantaranya pada tanggal 11 Agustus 1947, dua pleton pasukan Belanda masuk dengan cara melambung dari sayap kanan pertahanan KSBO, merobos sampai ke Desa Securai. Pertempuranpun terjadi, Pasukan-pasukan Republik Indonesia yang berada di Pos penjagaan menghadang pasukan musuh dengan tembakan–tembakan gencar, mengakibatkan gugurnya seorang Srikandi barnama Hasanah Siregar, ditembak Pasukan Belanda dengan kondisi yang sangat menyedihkan. Pertempuran itu terjadi beberapa jam. Pasukan Indonesia dapat memukul mundur, memaksa Pasukan Belanda kembali ke markasnya di Tanjung Pura. Setelah menghalau mundur, jembatan Securai diledakkan oleh KSBO sebagai antisipasi menghentikan penyerangan musuh.

Dalam berbagai pertempuran, laskar–laskar ini berjuang bahu-membahu dengan rekan-rekan dari TKR (Tentara Keamanan Rakjat) diberbagai sektor, dengan segala senjata yang dimiliki, seperti Bambu Runcing, para pejuang ini siap bertempur mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi, mereka membentuk barikade dan menghempang pergerakan Pasukan Belanda yang dilengkapi persenjataan mutakhir, truck dan jeep serta tank brengun carrier dan mortir, diperkuat oleh tembakan-tembakan (straffing) dari pesawat udara.

Sementara KSBO dibawah pimpinan Kolonel Hasbalah Hadji mengadakan penyiasatan tentang keadaan seluruhnya, penyiasatan ini telah sampai kepada pembahasan mengenai terjadinya penyerangan musuh, yang antara lain diperhitungkan :

  • Jika Belanda menumpahkan seluruh kekuatannya menyerbu benteng pertahanan kita yang ada di Front Gebang, dengan mendapat perlindungan Pasukan Kavaleri, Artileri dan mengerahkan pula Angkatan Udaranya, kepastiannya pertahanan kita akan hancur, sebab kekuatan kita tidak seimbang dan pasukan musuh dapat maju terus untuk menguasai Tambang Minyak Pangkalan Brandan.
  • Dalam pada itu keraguan musuhpun ada, karena sudah dicobanya pada Agresi tanggal 23 Juli 1947 yang lalu bahwa Pasukan Belanda yang melakukan serangan ke Jurusan Sumatera Timur dapat menjangkau sejauh 250 km, akan tetapi ke Jurusan Barat Utara Sumatera Timur hanya dapat dikuasai sejauh 50 km saja. Dan jika penyerangan itu diteruskan oleh Pasukan Belanda, dapat dipastikan korban akan bertambah banyak dipihak Belanda, berhubung jalan sepanjang menuju Pangkalan Brandan banyak dipasang Ranjau Darat oleh Pasukan Pejuang Republik, karena sebelumnya juga pernah terjadi beberapa kali korban dipihak Belanda yang mencoba menerobos masuk ke wilayah yang dikuasai para pejuang menuju ke Pangkalan Brandan terlindas ranjau darat yang dipasang Pasukan Pejuang dibelakang garis pertahanan musuh.
  • Memperhatikan akan letaknya medan pertempuran ini, besar kemungkinan Belanda akan menyerang dan menggunting pertahanan kita dari belakang dengan menerjunkan Pasukan Payung-nya di Komplek Tambang Minyak serta mendaratkan Pasukannya lewat laut di Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu, karena aba-abanya telah di dapat dari Pesawat Udara Belanda ”Catalina” dan disaat perdaratan tersebut maka pertahanan kita di Front Gebang akan digempur terus menerus yang seolah-olah pasukan mereka akan masuk dari jurusan depan Front kita.
Maka dibahas pula, bagaimana dengan Tambang Minyak seandainya Pangkalan Brandan juga terpaksa mengalami nasib yang sama seperti Kota Binjai, Stabat dan Tanjung Pura, apakah akan dibiarkan Tambang Minyak itu utuh dan jatuh ketangan musuh? Sudah tentu jawabannya tak mungkin sama sekali, sebab dalam perang, siapa yang dapat menguasai minyak maka dialah yang dapat menguasai Dunia, dan justru karena itu KSBO menetapkan Tambang Minyak harus diBUMIHANGUSkan.!

Pada 11 Agustus 1947, Mayor Nazaruddin selaku Komandan Batalyon TPKA & TM dan PMC bersama satu Kompi dari Batalion pimpinan Letnan Ahyar dan Laskar Rakyat Gabungan pimpinan Ahib Lubis, mengeluarkan maklumat yang ditujukan kepada seluruh penduduk tanpa kecuali, untuk meninggalkan Pangkalan Brandan dan sekitarnya sejauh 3 km selambat-lambatnya 12 Agustus 1947 dengan membawa segala sesuatunya yang masih dapat diselamatkan. Maklumat itu juga dikirimkan kepada segenap Badan-badan Resmi organisasi Masa Politik dan kepada Gabungan Perkumpulan Tionghoa Perantau (Chun Hua Chun Hui) di Pangkalan Brandan.

Pemerintah menyediakan pengangkutannya, dan untuk ini telah dibentuk panitianya yang dipimpin oleh Patih Sutan Naposo Parlindungan, yang bertugas antara lain menyiapkan Kereta Api khusus dan Truk-truk Gerobak untuk mengangkut para Pengungsi ke Daerah Besitang. Penduduk Pangkalan Brandan mematuhi maklumat itu, lalu pengungsian dimulai pada pagi hari tanggal 12 Agustus 1947. Sebaliknya penduduk Warga Tionghoa, hanya 11 orang saja yang ikut mengungsi, selebihnya sebanyak lebih kurang 5.000 orang masih tetap bertahan di Kota Pangkalan Brandan. Karena Ketua Gabungan Perkumpulan Tionghoa Perantauan (GPTP) yang merupakan pimpinan mereka, melarang mereka meninggalkan kota. 
Gelombang Pengungsian
Ketua GPTP itu dalam waktu singkat dapat mengumpulkan uang dari Penduduk Tionghoa Pangkalan Brandan untuk menyuap Perwira yang bertanggung jawab supaya Pangkalan Brandan jangan dibumihanguskan. Dengan demikian mereka akan dapat dengan tenang berada di dalam kota walaupun kelak Tentara Belanda memasuki kota Pangkalan Brandan, karena mereka merasa netral dan senantiasa dapat menerima dan bekerja sama dengan siapa saja yang berkuasa di daerah tempat tinggalnya. Dan diantara warga Tionghoa ini telah mempersiapkan bendera tiga warna didalam rumahnya untuk menyambut kedatangan tentara Belanda, dan hal ini ditemukan dikala dilakukan razia terhadap rumah-rumah warga Tionghoa di Pangkalan Brandan pada tanggal 26 Juli 1947. Upaya-upaya Pimpinan GPTP hendak melakukan penyuapan terhadap para perwira menemui kegagalan. Kota Pangkalan Brandan tetap akan dibumihanguskan.
 
KSBO selanjutnya membentuk 4 Pasukan Pioner dengan tugas menghancurkan semua instalasi dan bangunan Perusahaan di Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu, dipimpin oleh Letnan Satu Usman Amin, Tengku Nurdin, Umar Husni dan M. Yusuf Sukony. Tugas pasukan tersebut antara lain :
  1. Memindahkan mesin-mesin minyak dari pondasinya untuk dibawa ke Aceh.
  2. Pengangkutan dalam jumlah besar Premium dan Kerosine ke Daerah Aceh
  3. Pemasangan bom ukuran 250 kg dan 100 kg pada instalasi yang akan diledakkan.
  4. Pemasangan kantong-kantong mesin pada tangki-tangki raksasa.
Pada tanggal 12 Agustus 1947, jembatan Sei Lepan di Desa Pelawi yang merupakan pintu gerbang masuk ke Pangkalan Brandan dari arah Medan dihancurkan oleh Pasukan Zeni KSBO, sehingga akan sangat sulit untuk melewatinya karena medannya bertebing curam. Ini sebagai persiapan menahan lajunya serbuan Pasukan Belanda.

Pada penghujung tengah malam, diawal waktu terbitnya fajar siddiq tanggal 13 Agustus 1947, Tambang Minyak disulut dengan ledakan bom, diawali dengan meledakkan tangki–tangki raksasa, pondasi-pondasi penyulingan, bangunan dan gedung perusahaan Tambang Minyak di Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu, apipun berkobar merembet ke daerah Pelabuhan, langit menghitam berbunga api kemerahan bertebaran ke angkasa, kegelapan subuh berubah menjadi benderangnya kobaran api yang menjalar, suara ledakan dan kobaran api sungguh mencekam dan mengerikan semua orang yang menyaksikannya. Api berkobar membumi hanguskan Pangkalan Brandan. Strategi perang ini belakangan dikenal dengan politik bumi hangus. 
Pangkalan Brandan Lautan Api
Tak ayal, misi Agresi militer Belanda I ke Pangkalan Brandan pupus. Shell mengalami kerugian tak terkira. Padahal sebelumnya, dari Pangkalan ini dan dua pangkalan lain yang berada di Minas dan Rantau (yang dikuasai Caltex dan Stanvac) ketiga perusahaan yang dikenal dengan ”Tiga Besar” menjadi penghasil minyak terbesar di kawasan Timur Jauh. Tentara Belanda pun meninggalkan Pangkalan Brandan dengan kekalahan. Mereka mencoba merebutnya kembali dalam Agresi Militer Belanda II tahun 1948 namun kembali gagal setelah kembali dibumihanguskan oleh pejuang.
Kondisi Bangunan pasca bumihangus, via edyfranjaya.wordpress.com
  
**************

Hari Pangkalan Brandan Lautan Api adalah saat yang pas untuk merenungkan, semangat Laskar Minyak mempertahankan pengelolaan kilang minyak nasional secara mandiri. Sekalipun nama mereka tak pernah terukir dalam sejarah, tak pernah disematkan ‘Bintang Gerilya’ bersudut lima, sebagaimana pahlawan Gerilya lainnya, namun semangat mereka layak ditauladani. Bila saja perjuangan Laskar Minyak berhasil, bisa jadi Indonesia tak akan pernah mengalami krisis energi.

Pembakaran tambang minyak Pangkalan Brandan yang terjadi pada tanggal 13 Agustus 1947 oleh para pejuang kita terdahulu, harus dimaknai sebagai sebuah simbol perlawanan agar keberadaannya tidak menjadi milik penjajah yang berkehendak menguasai tambang minyak Indonesia. Laskar Minyak berperan besar dalam sejarah kemerdekaan bangsa. Perjuangan mereka itu telah membuktikan bahwa bangsa yang baru merdeka telah sanggup membela kepentingan kita sendiri. Inilah satu bukti bahwa bangsa kita sanggup merdeka. Kita bukan kerbau atau keledai seperti kata penjajah dahulu.

Saya dulu saat kuliah pernah mengikuti seminar tentang minyak di kampus. Pematerinya mengatakan bahwa pekerja tambang minyak sejatinya adalah pahlawan Nasional. Andilnya yang besar dalam kemajuan negeri ini yang membuat mereka layak mendapatkan itu. Ditambah lagi dengan nilai-nilai historis yang salah satunya baru saja kita ulas diatas. Jadi bagi kita yang hanya tinggal menikmati kemerdekaan ini, sudah sepatutnya meneladani perjuangan mereka. Terlebih para pelakon Perminyakan dan Energi.

---Untuk mahasiswa Perminyakan, jika dulu semangat mereka tiada habis-habisnya untuk mempertahankan kemerdekaan dan kemandirian energi negeri ini. Kita hanya cukup belajar dengan baik dan giat, agar pengelolaan energi secara mandiri seperti apa yang para pejuang inginkan dahulu dapat tercapai. Jangan malas, jangan titip absen, jangan ngeluh kuliah! :D ---
MERDEKA, via pertamina.com


Sumber-sumber :
langkatonline.com 
edyfranjaya.wordpress.com 
www.migasreview.com
www.kompasiana.com
id.wikipedia.org
lenteradiatasbukit.blogspot.co.id
finance.detik.com