Thursday, November 23, 2023

Kembali ke Ranah Minang Setelah Dua Dekade

Burung besi yang ku tumpangi mulai lepas landas dari Hang Nadim, meninggalkan kepulauan Melayu, terbang menuju barat mencari kitab suci. Aku sengaja memilih kursi di jendela, karena pada penerbangan kali ini ku begitu antusias, bukan karena untuk mengambil gambar yang biasa jadi bahan feed IG dari atas pesawat, namun karena tujuan pesawat ini. 

Penampakan di bawah selama lebih kurang 60 menit penerbangan ini didominasi oleh daratan luas pulau Sumatera yang masih tampak hijau. Agak berbeda dengan beberapa penerbangan ku sebelum-sebelumnya yang didominasi hamparan laut biru.

Burung besi yang ku tumpangi kali ini akan membawa ku pada suatu tempat, yang baru dua kali ku injakkan kaki di sana. Tempat dimana ulama hingga tokoh-tokoh besar dilahirkan, tempat dimana saksi perjuangan ditampakkan, tempat dimana adat dan budaya dipegang erat, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah: Ranah Minang, tanah leluhur.

Kampuang den, Sumatra Barat

Roda pesawat mendarat mulus sempurna setelah lebih kurang 60 menit di langit Sumatra. Minangkabau International Airport atau Bandara Internasional Minangkabau (BIM), satu dari puluhan bandara internasional di Indonesia (yang kabarnya akan dikurangi beberapa nanti). Aku baru pertama ke bandara yang terletak di Kabupaten Padang Pariaman ini, karena saat pergi pertama kali ke sini puluhan tahun lalu itu, aku dan ayahku lewat jalur darat dari Pekanbaru, naik mobil. Melewati Lembah Anai dan Kelok Sembilan yang berhasil buatku unyai, mabuk tak berdaya.

Sambil menunggu bagasi di ruang tunggu, kami bertemu dengan panitia dan beberapa peserta kegiatan. Ohya, perjalananku kesini dalam rangka menghadiri kegiatan yang diadakan di Kabupaten Sijunjung. Setelah urusan selesai, kami menaiki bus yang ditentukan panitia. Roda bus berputar keluar dari bandara, menuju Kabupaten Sijunjung. Jarak dari BIM ke Sijunjung sekitar 150km, jika waktu normal, perjalanan ditempuh dalam waktu kurang lebih 3 sampai 4 jam perjalanan.

Gass menuju Sijunjung

Aku kembali memilih di jendela, menyandarkan kepala pada dinding kaca bus sambil melihat sekeliling. Melihat alam minangkabau, membuka memori masa kecilku tentang kampung leluhurku ini. Saat pertama pergi, usiaku baru 6 tahun, belum menyadari banyak hal. Ssaat itu aku hanya ingat, kami ke Padang, tempat keluarga nenek, bermain ke Jam Gadang, dan ke pantai Air Manih (tapi tak ke patung Malin Kundang nya). Lalu lanjut lagi ke Bukit Tinggi, kampung keluarga inyiak (kakek). Bermain ke kebun binatang dan taman bermain di sana. Bertemu saudara-saudara dari keluarga ayahku, yang aku sudah lupa namanya.

Bus terus melaju melewati jalan raya yang sedikit lengang. Singgah sebentar untuk istirahat makan siang, bukan di Rumah Makan Padang, tapi masakannya full khas RM Padang. Memang jarang ditemukan RM Padang di Sumatera Barat, sebab masakannya sudah menjadi bagian dari budaya, sehingga tidak perlu lagi melabeli "RM Padang" di rumah-rumah makannya.

Nasi Kapau jadi pengganjal perut di hari pertama ini. Sambil berkenalan dengan beberapa peserta kegiatan lain yang berasal dari berbagai tempat di seluruh Indonesia. Setelah makan siang, kami lanjut ke perjalanan ke Sijunjung.

Perjalanan ke Sijunjung ternyata cukup jauh, kami berhenti di beberapa titik, Baik untuk buang hajat dan belanja makanan ringan untuk dikunyah selama perjalanan. Kami juga melewati tikungan yang sedang viral-viralnya: Sitinjau Lauik. Jalanan ekstrim ini kerap kali lewat di beranda media sosial saya, dan akhirnya bisa lewat secara langsung, dan memang benar-benar ekstrim dan ngeri-ngeri sedap.

Sitinjau Lauik merupakan dataran tinggi dengan jalan berkelok yang terletak di jalan lintas Kota Padang dan Kabupaten Solok. Sitinjau Lauik berarti melihat laut dari kejauhan. Karena terletak di ketinggian lebih dari 1000 mdpl, kita bisa melihat laut di sisi barat pantai Sumatera. Selain terkenal dengan jalur yang ekstrim, jalur yang kerap tertutup awan ini memegang peranan penting bagi jalur transportasi dan distribusi logistik dari dan ke Padang, jalan ini juga menjadi penghubung beberapa daerah di ranah minang.

Rute ini juga melewati Tahura (Taman Hutan Raya) Bung Hatta. Penamaan ini merupakan suatu penghormatan kepada Proklamator asal minang tersebut. Tahura Bung Hatta berada pada ketinggian 300 - 1800an mdpl, dan merupakan rumah bagi ragam jenis flora dan fauna, termasuk jenis bunga bangkai dan beberapa jenis burung endemik.
Melewati Sitinjau Lauik
Perjalanan ke Sijunjung ternyata tak semulus yang dikira. Dari perkiraan awal berkisar 4 jam. Kami baru tiba di Sijunjung pada jam 7 malam. Kurang lebih 8 jam perjalanan. Setelah sampai di Sijunjung, kami disambut oleh "pemilik lahan" dalam acara gala dinner, yap Bupati Sijunjung dan Gubernur Sumatra Barat hadir dalam kegiatan ini.

Setelah semua kegiatan selesai, kami kembali ke tempat menginap, dan rebaaaaah. Akumulasi rasa letih selama 12 jam total perjalanan ditumpahkan di kasur tempat menginap. Mengumpulkan tenaga untuk mengikuti kegiatan besok, dan beberapa hari ke depan.