“Anginnya sejuk, Yah. Tempat apa ini?”
“Ini namanya Pantai, Nak.”
“Pantai apa, Yah?”
“Namanya Pantai Ujung”
“O, ujungnya yang mana, Yah?” ucap Latifah sementara dua jari telunjuk
mungilnya yang baru berusia hampir lima tahun menunjuk ke arah yang
berlawanan.
“Aduh, Fah, kamu banyak tanya. Dari tadi tidak pernah diam,” kata
Maliki, sebuah tangannya merangkul tangan Latifah kecil yang hampir
berlari di sampingnya.
“Yang mana, Yah?” ulang Latifah seakan tidak mendengar keluhan ayahnya.
Pertanyaan beruntun tak putus-putusnya keluar dari mulut mungil anak
itu, menghujani Maliki sejak mereka tadi meninggalkan Rumah dan di
sepanjang jalan di dalam mobil, hingga mendarat di Pantai Ujung tidak
jauh dari Kota. Tempat mereka biasa melepaskan kepenatan di akhir pekan.
Maliki tidak habis pikir dengan anak tunggalnya itu yang sangat rajin
mengoceh dan tidak mengenal lelah. Padahal jarak dari rumah ke pantai
tidak kurang dari lima jam perjalanan. Dan perjalanan itu pun
mengantukkan bagi orang dewasa. Tetapi Latifah tetap bersemangat,
kadang-kadang kasihan juga Maliki melihat anaknya. Dicobanya untuk
mengajak istirahat sebentar sambil tidur-tiduran di tenda dekat mobil
mereka diparkir, tetapi Latifah menolak. Dan terus bertanya.
“Kenapa pohon kelapanya banyak yang condong ke arah laut, Yah?”
“Itu karena angin lebih kencang dari darat ke laut,”
“Yah, disana itu apa?” Jari kecilnya menunjuk lagi.
“Semacam kapal. Ayah tidak tahu…”
“Bukan, Bukan kapal itu.”
“O, yang bulat itu. Namanya…”
“Bukan!” Suaranya meninggi. Kakinya yang mungil dihentak-hentakkan ke
tanah, jengkel karena ayahnya tidak tahu apa yang dimaksudkannya. “Bukan
Batu.”
“Yang mana?”
“Itu,” katanya sambil menunjuk lagi.
“Pulau itu?”
“Pulau? Pulau itu, apa, Yah?”
“Pulau adalah tanah yang ditumbuhi tanaman juga tempat hidup para binatang dan dikelilingi oleh air laut”
“Berarti seperti tempat tinggal kita juga, Yah?”
“Ya, kita dan semua orang juga tinggal di atas Pulau.”
“Apa disana ada orang, Yah?”
“Tidak, pulau itu tidak ada orangnya.”
Latifah menghentikan langkahnya. Dan terus memandang ke arah laut.
Kemudian bertanya, “Mengapa pulau itu kelihatan seperti orang hamil,
Yah?”
Maliki paling merasa susah jika ditanya “mengapa” oleh Latifah. Kalau
“apa” masih tidak terlalu sulit untuk dijawab. Anak-anak lainnya seusia
Latifah juga senang sekali bertanya. Ya, keingintahuan anak kecil.
Namun, Latifah bertanya bukan hanya sekedar ingin tahu. Perhatian
Latifah juga tertuju pada alam sekeliling, pada jawaban yang diberikan
pada setiap pertanyaannya, baik oleh Ayahnya atau siapa saja.
“Itu ada ceritanya, Fah,” jawab Maliki. “Pulau itu namanya Pulau Hamil.”
“Bagaimana ceritanya, Yah?”
“Panjang ceritanya, Fah. Nanti malam Ayah ceritakan,”
“Janji, Yah?”
“Ya, Ayah janji.”
Latifah tambah senang hatinya dan tambah tegap langkahnya. Janji
Maliki membuatnya berhenti bertanya tentang pulau itu, tetapi hujan
pertanyaan makin lebat. Tentang air laut yang terasa asin, ombak yang
bergiur diterpa angin, tentang serpihan binatang laut yang berserakan di
bibir pantai.
Dahulu kala hidup di wilayah pantai ini sebuah keluarga kecil. Di
dalam keluarga itu hanya ada dua orang: suami dan istrinya. Mereka sudah
lama menikah namun belum mendapatkan buah hati. Mereka merupakan
keluarga sederhana yang tidak kaya dan juga tidak begitu miskin.
Pasangan itu hidup di sebuah pondok. Untuk menghidupi mereka, suaminya
bekerja sebagai penangkap ikan dan istrinya sebagai Ibu Rumah Tangga
(IRT).
Hidup di lingkungan bersama masyarakat setempat. Mereka merupakan
keluarga yang sombong dan kikir, tidak pernah mau untuk membantu orang
lain yang lagi kesusahan. Setiap ada warga yang meminta bantuannya
selalu ditolak dengan berbagai alasan dan tepisan. Kadang tidak bisa
membantu, tidak memiliki uang, lagi sibuk dan berbagai alasan lainnya
selalu muncul dari bibir mereka baik suami maupun istrinya.
Hubungan keluarga itu dengan warga setempat pun semakin memburuk.
Orang-orang sudah tidak begitu peduli dengan mereka. Kala itu, istrinya
diketahui mendapatkan kado istimewa dari Tuhan yaitu kehamilan. Alangkah
senang hatinya. Dia kemudian menceritakan kepada suaminya. Dan suaminya
pun ikut senang. Tujuh bulan berlalu. Sang istri makin jelas
kehamilannya dengan perut yang menonjol ke depan seakan sangat berat
membawanya dan semakin nampak besar bulatannya.
Suatu hari, sang suami sedang pergi menangkap ikan. Tinggallah
istrinya sendirian di rumah berduaan dengan anaknya yang masih dalam
kandungan itu.
“Bapak ke laut dulu, Bu. Mencari ikan untuk kita makan nanti malam.”
“Iya Pak.” Jawab istrinya dengan nada rendah.
“Ibu baik-baik di rumah, ya, jaga kondisi Ibu dan buah hati kita!” pesan
suami kepada istrinya, lalu pergi ke luar rumah dengan memikul serumpun
jala.
Setelah beberapa jam berlalu suaminya pergi, tiba-tiba wanita itu
sangat ingin makan buah lamun: buah dari tumbuhan laut yang bisa dipetik
ketika air laut sedang surut dan rasanya manis. Berfikirlah Ia
bagaimana cara mendapatkannya. Hendak keluar rumah untuk mencari, terasa
agak begitu repot dengan kondisi kehamilannya. Karena terpaksa oleh
keinginan yang tidak boleh ditunda-tunda. Keluarlah Sang istri menuju
rumah-rumah warga untuk mencari segelintir bala batuan.
“Pak, saya sedang ingin makan buah lamun, dapatkah membantu untuk
mencarikannya?” Pintanya kepada seorang warga yang tampak sedang duduk
di teras rumah yang tidak jauh dari pondoknya.
“Saya sedang tidak sehat sekarang, Bu.” Jawab lelaki itu yang kemudian menghilang di balik pintu rumahnya.
Wanita itu terus mengayunkan langkahnya, berharap ada yang bersedia menerima permohonannya.
“Bu, bisakah mencarikan buah lamun untuk saya. Kebetulan air laut sedang surut.”
“Aduh Bu, saya sedang buru-buru mau ke pasar sekarang.” Jawab wanita yang ditemuinya itu.
Dengan mata sendu yang melambangkan keputusasaan serta langkah lesunya
yang semakin melemah, wanita itu menuju pesisir pantai untuk mencari
buah yang di idamnya. Tanpa harus menunggu bantuan yang tidak pasti, Dia
terus berjalan di tepian. Air setinggi tumit mengharuskan pandangan
matanya tidak lepas dari gundukan-gundukan pasir di bawah air dengan
harapan menatap serumput lamun yang siap untuk disantap.
“Dimana buah itu, dari tadi tidak satupun ku temukan.” Gumamnya dalam
hati. Kemudian Ia berenti sejenak mengenang kehadiran buah lamun yang
tidak kunjung datang.
“Mungkin mereka hidup di air yang lebih dalam.” Pikirnya.
Teruslah dia menyusuri ke arah laut yang sedikit dalam dan menjauh
dari pesisir pantai. Dengan alunan langkah yang lentur namun pasti,
ditemukan juga buah lamun itu. Dan di petiknya lalu dimakan. “Mungkin
disana akan lebih banyak.” Katanya sambil terus melangkah menyusuri
lautan dangkal itu. Tidak sadar air laut semakin pasang yang kini sudah
setinggi lutut rapuhnya. Melihat buah lamun yang makin banyak
didapatkan, Dia semakin bersemangat.
Air laut terus meninggi. Hari mulai gelap tanda akan turun hujan.
Bergegaslah ia hendak kembali kedaratan. Dengan ayunan langkah yang
lamban dan keletihan sudah melanda dirinya. Ia terus menuju pesisir.
Kini air laut mencapai dadanya. Semakin lambatlah langkah wanita renta
itu. Silauan petir mulai terasa. Langit mulai gelap. Seketika wanita tua
itu tergelam yang akhirnya mengapung dengan perutnya menonjol di atas
permukaan laut. Jadilah ia sebuah Pulau yang berbentuk seperti orang
hamil. Pulau itu hingga kini terletak didepan Pantai Ujung yang bisa
kita datangi dengan berjalan kaki ketika air laut sedang surut.
“Kenapa wanita itu jadi Pulau, Yah?”
“Itu karena Tuhan marah kepadanya yang sombong dan pelit, Nak.”
“Orang yang sombong Tuhan tidak suka, ya?”
“Iya, Tuhan telah menyuruh kita untuk berbuat baik kepada orang lain.”
“Kalau badan berubah jadi pulau, sakit ya, Yah?”
“Tentu. Itu hukuman bagi orang yang tidak patuh kepada perintah Tuhan.”
Latifah terdiam. Maliki melihat anaknya menatap langit-langit. Matanya
melukiskan bahwa otaknya sedang berputar cepat. Entah apa yang
dipikirkannya. Maliki khawatir Latifah takut dengan ceritanya. Ia
khawatir latifah ngeri membanyangkan sakitnya perubahan diri menjadi
Pulau.
“Yah,” kata latifah sambil mengalihkan pandangannya ke wajah Maliki yang
berdekatan dengan wajahnya. Maliki memeluk anaknya yang terbaring di
tempat tidur. Senyum manis Maliki mencoba meyakinkan bahwa tidak ada
yang perlu dikhawatirkan atau ditakutinya. “Kalau aku tidak patuh pada
perintah Tuhan, apa tuhan akan menghukum aku.”
“Kamu anak yang baik.”
“Ini kalau saja, Yah. Bagaimana kalau aku tidak patuh?”
“Kamu akan jadi anak yang patuh, Fah.”
Lama Latifah berpikir. Dia tidak mengerti mengapa ayahnya tidak menjawab
pertanyaannya. Dia terlalu kecil untuk membaca kerumitan pikiran
ayahnya. Pikiran kecilnya terlalu lugu untuk mengarungi pikiran orang
dewasa yang selalu punya banyak pertimbangan.
“Ya, ini kalau. Kalau anak Ayah tidak patuh, bagaimana?”
“ayah akan berdo’a kepada Tuhan agar Latifah di ampuni-Nya.”
Latifah diam lagi. Lalu, “Kenapa, Yah?” tanyanya sambil memainkan kerah baju ayahnya.
“Karena Ayah sayang Latifah.”
“Kenapa, Yah?” lanjut Latifah.
“Kenapa Ayah sayang kepadamu?”
Latifah mengangguk.
“Itu kewajiban orang tua, Fah.”
“Apa disuruh Tuhan?”
“Ya, Tuhan menyuruh manusia berbuat baik sesama manusia. Orang tua sayang kepada anaknya dan anak sayang kepada orang tuanya.”
Latifah berpikir lagi. Kemudian, “Kalau begitu, warga tempat keluarga
itu tinggal juga tidak patuh, ya, Yah?” Terkejut Maliki mendengar
perkataan anaknya.
“Kenapa Fah?”
“Mereka tidak patuh kepada perintah Tuhan. Mereka juga tidak mau
membantu keluarga itu. Apa warga tadi juga di hukum Tuhan, Yah?”
“Ayah tidak tahu.”
“Apa warga tidak mau menolongnya karena warga disana juga orang-orang yang tua renta, Yah?”
“Entahlah, Fah.” Kata Maliki sambil mengusap pipi Latifah yang
dihinggapi nyamuk. Mata anaknya hampir tertutup. Kantuk makin terasa
menguasai dirinya.
“Apa ayah yakin yang menjadi Pulau itu istri penangkap ikan. Bukan warga yang lain, Yah?”
“Ayah tidak begitu yakin, Fah. Ini cerita orang.”
Latifah terlelap dengan seulas senyum tercipta di bibirnya.
Cerpen Karangan: Siswari
Facebook: Siswari Senju (https://www.facebook.com/sis.wari.7?fref=ts)
SISWARI, kelahiran Sedanau, Natuna 1991. mahasiswa prodi Ekonomi SYariah
di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Natuna 2010. Alumni SMA Negeri 1 Bunguran Timur angkatan 2009. memperkenalkan tanah
melayu adalah cita-cita.
Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-nasihat/pulau-hamil.html
dengan sedikit tambahan :)
No comments:
Post a Comment