Sejak Pemerintahan Kolonial Belanda berkuasa di seluruh penjuru tanah
air, para petinggi kolonial yang di tempati di daerah-daerah tertentu
umumnya orang-orang yang berpendidikan tinggi, sekurang-kurangnya
berasal dari militer dan lihai menerapkan sistem kolonialnya.
Mereka-mereka ini diangkat sebagai pegawai pemerintah seperti Resident,
Kontelir dan Asisten Resident termasuk juga Aspiran kantor Kontelir.
Disamping ilmu pemerintahan, mereka juga menguasai bidang-bidang ilmu yang lain seperti ahli pertanian (land ‘bouw), ilmu suku bangsa
dan kebudayaan (etnologi), dan ilmu manusia serta adat
istiadatnya (antroplogi). Yang pernah meneliti tentang adat-istiadat Pulau Tujuh
(Kabupaten Natuna) yaitu “Van de Tillaard” bekas Posthouder Pulau Tujuh
tahun 1913.
Dibidang etnologi mereka dapat menguasai orang-orang tempatan agar mudah
berunding dan diajak kerjasama. Dan dibidang pertanian (land ‘bouw),
mereka sangat berminat karena Indonesia memiliki tanah yang sangat subur
dan dapat ditanam apa saja untuk keperluan negeri Belanda.
Kepulauan Natuna sejak di berlakukan Stbld. 1911 No 599 terdiri dari
Kepulauan Anambas, Kepulauan Natuna Utara, Kepulauan Natuna Selatan,
Sedangkan Kepulauan Tembelan masuk wilyah Tanjung Pinang. Oleh karena
wilayah Pulau Tujuh waktu itu masih termasuk Kerajaan Riau Lingga, maka
di wilayah Pulau Tujuh di tempati seorang “Amir” (Camat) oleh Sultan
untuk mendampingi para Datok-datok (Datok Kaya) selaku tokong Pulau
(Penguasa Pulau) yang terdiri dari 7 (tujuh) orang Datok (Lihat sejarah
perjalanan Raja Ali Kelana ke Pulau Tujuh tahun 1896), yaitu : Datok
Kaya Jemaja, Datok Kaya Siantan, Datok Kaya Tambelan, Datok Kaya
Serasan, Datok Kaya Pulau Subi, Datok Kaya Pulau Laut, Datok Kaya
Bungguran Barat, Datok Kaya Bunguran Timur. Dan ketujuh Datok Kaya ini
langsung sebagai Pemegang Adat dan Kepala Adat setempat yang mengatur
sistem pemerintahan tradisional (lihat Hukum Adat Wilayah Pulau Tujuh
karangan Van de Tilaard 1913). Seorang Amir yang ditempati atau
diangkat oleh Sultan atas persetujuan Residen Riau, adalah sebagai
pejabat yang membantu Kontelir dan segala laporan tentang keadaan
wilayah kerjanya harus melapor ke Terempa (sekarang Kabupaten Anambas)
tempat kedudukan Kontelir pertama adalah di Tanjung Belitung dan
pada tahun 1906 pindah di Sedanau dengan memindahkan seperangkat Rumah
dan Kantor Kontelir.
Ahmadi & Co.
PEREKONOMIAN SAAT ITU
Berdasarkan inisiatif Kerajaan Riau Lingga, di Pulau Midai di buka lahan
untuk ditanam pohon kelapa (1895) untuk kesejahteraan Kerajaan
sehingga didirikanlah sebuah serkah atau sejenis koperasi yang diberi
nama “Ahmadi” tahun 1906 yang oleh Bung Hatta di nyatakan Koperasi yang
tertua di Indonesia. Setiap tahun, kerajaan memungut dan mengambil
hasil dari hasil kopra yang dijual di Singapura dan termasuk pungutan
pajak hasil bumi di setiap wilayah yang dikuasai Datok.
Ahmadi & Co.
Waktu itu wilayah Pulau Tujuh (Kabupaten Natuna) merupakan gudang kelapa
kering terbesar di Kerajaan Riau Lingga, Sehingga bermunculan serkah-serkah (koperasi) di wilayah Pulau Tujuh. seperti : Koperasi yang
pertama kali didirikan adalah “Syarikat Natoena Co. Sedanau” tahun 1318 H
yang dipelopori oleh Amir Raja Idris, kemudian menyusul “Syarikat
Ahmadi” di Midai tahun 1324 H (1906) dan “Syarikat Terempa tahun 1332 H
(1913) yang di beri nama”Syarikat Maatschappailijk Kapital“.
Ahmadi & Co. |
Setelah penguasa Belanda menghapuskan Kerajaan Riau Lingga berdasarkan
Stbld. 1913 No.51, maka diterbitkan pula surat keputusan baru
berdasarkan “Javache Ceorant dan Cewestelijkkeur 11.C” yang menetapkan
bahwa pungutan cukai oleh Datuk Kaya diteruskan dengan catatan orang
luar dikenai cukai, sedangkan bagi anak negeri bebas cukai.
Gedung Ahmadi & Co. Midai Natuna |
Untuk menguatkan kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda di Wilayah Pulau
Tujuh, maka diterbitkanlah sebuah keputusan Stbld.1913 No.19 agar
dibentuk “Onderdistricht dan District” dengan menempatkan seorang Amir
dimana adanya Datok sangat jelas begitu dibubarkannya Kerajaan Riau
Lingga makin leluasalah Kolonial Belanda menjalankan roda Pemerintahan,
dan terakhir dengan Stbld 1917 No. 55 menetapkan belasting (cukai) hasil
kopra di wilayah Pulau Tujuh dan Kekuasaan Datok Kaya semakin lemah
karena tindakan sepihak oleh penguasa Belanda. Habisnya kekuasaan Datuk
Kaya di Wilayah Pulau Tujuh sampai menjelang penyerahan kedaulatan.
Oleh Wan Tarhusin, Bsc
Pemerintahan Menjelang Perang Dunia II (1941-1945).
Sebelum pecah Perang Dunia II tahun 1941-1945 para pejabat yang masih
menjabat sebagai “Amir” di Kepulauan Anambas dan Natuna adalah sebagai
berikut :
- Pulau Jemaja : Almarhum Moehammad Yoenoes.
- Pulau Siantan : Almarhum Moehammad Dahlan.
- Pulau Midai : Almarhum Raja Moehammad (mantan Sekretaris Gubernur pertama Propinsi Riau).
- Pulau Serasan : Almarhum Amir Bismarack.
- Bunguran Barat : Almarhum Amir Rd. Soewardiono.
- Bunguran Timur : Almarhum Amir Ibrahim.
- Pulau Tembelan : Almarhum Encik Moehammad Apan (mantan Bupati pertama di Kepulauan Riau).
Para Pejabat ini tidak lagi keterkaitannya dengan penguasa Kerajaan Riau
Lingga dan Kekuasaan Amir (Camat) waktu itu adalah penempatan yang
diangkat oleh penguasa Belanda yang memperbantukan atasannya (Kontelir)
di Wilayah Kepulauan Anambas dan Natuna.
Para Amir inilah yang selalu mewaspadai dirinya selaku Kepala Daerah,
karena begitu Jepang masuk diantara pejabat yang di internir adalah
Almarhum M. Dahlan (Amir Pulau Siantan) hingga tidak diketahui dimana meninggalnya.
Setelah Bung Karno dan Bung Hatta mengumumkan Proklamasi tanggal 17
Agustus 1945, rupanya tentara Belanda masih ingin menjajah di Republik
Indonesia ini dan terjadilah agresi melawan Belanda. Di Pulau Midai
terjadi pemberontakan Merah Putih pimpinan H. Basri Sabeh dan di Ranai
terjadi penembakan tentara Belanda oleh Sareng dan MS. Kambay. Sersan
Yansen kena tembakan dan Komandan Letnan Engels sempat menyelamatkan
diri.
sumber :
natuna.org
media.kompasiana.com
natuna.org
media.kompasiana.com
Sumber Buku :
Imbas Perang Pasifik di Kepulauan Anambas Natuna (Kepulauan Riau)
Oleh Wan Tarhusin, Bsc
No comments:
Post a Comment