Tuesday, May 7, 2013

Orang MIDAI Wajib Tahu! Bung Hatta, Midai, dan Koperasi

Bangunan Koperasi Ahmadi & CO masih berdiri tegak. Aktivitas keseharian pun masih berjalan. Tapi sudah tak seperti dulu lagi, ketika kebesaran perusahaan ini bahkan sampai memiliki cabang di Singapura, dari Kecamatan Midai Kabupaten Natuna Provinsi Kepri.

Bung Hatta, via www.berdikarionline.com
Ada sisa kejayaan yang masih tertinggal sebuah prasasti bertanda tangan Muhammad Hatta, Wakil Presiden pertama RI. Sekitar tahun 1949, Bung Hatta datang ke Pulau Midai, satu dari sekian ratus pulau-pulau kecil di gugus perairan Natuna.

Selain melihat kehidupan di pulau perbatasan RI tersebut, Bapak Koperasi Indonesia juga dibuat takjub dengan keberadaan serikat dagang orang Melayu yang dikenal dengan nama Ahmadi & CO tersebut. Diperkirakan, Ahmadi & CO adalah sebuah koperasi yang tumbuh pada deret paling awal di republik yang sempat bercita-cita membangun ekonomi kerakyatan melalui koperasi ini.

Kala itu Bung Hatta menggunakan kapal yang merupakan satu-satu transportasi untuk menuju ke Pulau Midai. Begitu sampai di pelabuhan Midai, sekitar 500 meter dari dermaga terlihat elok dan rapih bangunan megah kala itu pada zamannya. Bung Hatta langsung masuk ke dalam kantor dan memeriksa buku-buku laporan keuangan perusahaan Ahmadi & Co yang membayar pajak ke Padang Sumatra barat.

Haji Wan Abdulrahim bin Haji Wan Abdullah merupakan saksi sejarah berdirinya sebuah peradaban usaha niaga yang menembus pasar Internasional ini. Para petani menjual hasil bumi Natuna berupa kopra dan cengkeh hingga ke penjuru Malaysia, Singapura serta deretan Negara Asia Tenggara mengunakan kapal niaga yang berlayar menembus laut Cina Selatan. Dari situ, Bung Hatta dibuat terkagum-kagum.
“Ini sebuah lembaga ekonomi pertama di Nusantara yang manajemennya sangat rapi”, -Bung Hatta.
Sejarah kejayaan Ahmadi & Co ini diceritakan oleh bapak Tiga Zaman, Haji Wan Abdulrahim (73) yang kini menetap di Ranai Natuna beserta istri tercinta Hj Wan Nursima (65). Keseharian mereka kini menjual kue serta Roti bakar di perempatan Simpang Batu Hitam. 

Kala itu ungkap Wan Adullrahim, tahun 1957-1967, usai mengenyam pendidikan SMEA di Tanjung Pinang Angkatan Pertama Sekolah Kejuruan semasanya. Tergerak hati ingin membangun kampung halaman. Wan Abdullah kembali meneruskan usaha dimana Ayah kandungnya, Wan Abdullah (alm) bekerja sebagai bendahara keuangan bersama Raja Haji Ali mengembangkan Ahmadi & Co.

Sejarah Ekonomi Natuna menggelora Bermula dari Ahmadi & Co.
Diantara syarikat/perusahaan niaga itu yang masih ada sampai sekarang hanyalah Ahmadi & Co. yang ada di Midai. Ahmadi & Co. di ini Midai sudah sangat terkenal dalam waktu yang panjang. Selain besar, rapi, dan indah, ia juga mempunyai cabang di Singapura, yang banyak menerbitkan jenis bahan cetakan buku pelajaran syariat agama serta beragam jenis lainnya. Perlu juga diketahui disini bahwa diantara sekian ramai yang memasukkan modal/saham dalam Ahmadi & Co. Midai ataupun cabang di Singapura, terdapat juga pelabur yang berasal dari Patani (Thailand) dan Kelantan (Malaysia).

Berdirinya Ahmadi & Co. Midai di Singapura adalah atas kebijakan ketuanya Raja Ali bin Raja Muhammad Tengku Nong. Perusahaan yang berawal dari agen kelapa kering (kopra), hasil laut, dan usaha tenunan kain Terengganu ini, perlahan-lahan menjadi besar. Bisnis lain yang dikenal adalah sebagai mathba’ah/ press dan penerbit buku panduan pendidikan.

Secara tidak langsung, Ahmadi & Co mewakili keintelektualan masyarakat Pulau Tujuh atau sekarang disebut Natuna, di gelanggang dunia niaga serantau. Selain itu seorang ulama besar Sarawak yang terkenal di Mekah, iaitu Sheikh Utsman bin Abdul Wahhab Sarawak pernah memiliki sebidang kebun di Pulau Midai yang diurus oleh Ahmadi & Co. Midai. Jika kita menoleh kebelakang, pelayaran pada zaman silam yang menggunakan tongkong atau wangkang dari negeri China, perahu ukuran besar yang berasal dari Terengganu, negeri Bugis dan penduduk Natuna sendiri yang melalui Laut China Selatan, sudah pasti akan melalui ataupun singgah di Natuna.

Pada zaman penggunaan tongkong/wangkang atau perahu, peranan kepulauan di Laut China Selatan itu adalah sangat penting terutama untuk mendapatkan bekalan air. Lama kelamaan wujudlah perdagangan antara berbagai daerah. Bahkan ramai orang-orang Terengganu datang ke daerah tersebut untuk berniaga mengedar berbagai jenis kain. Kegiatan ini berjalan hingga tahun 1950an.

Syarikah Ahmadi & Co. Midai termasuk perintis awal yang memiliki sebuah kapal di daerah Natuna yang dinamakan Kapal Karang kini diyakini Wan Abdullah benda sejarah berupa Teropong antik yang tersimpan rapih di kediaman nya. Sepanjang sejarah pelayaran, penggunaan kapal untuk daerah Natuna mengalami dua kali terkendala, yang pertama ialah menjelang perang dunia yang kedua dan beberapa tahun sesudahnya. Keduanya pula ialah ketika terjadi Konfrontasi Indonesia-Malaysia (1963) berjalan terus hingga beberapa tahun sesudahnya.

Pada masa perang dunia yang kedua, barang makanan banyak dibawa dengan perahu dari Kuala Terengganu dan Kuching, Sarawak. Perhubungan dengan Singapura yang menggunakan kapal boleh dikatakan terputus.

Saya sangat bersukur ketika di posisi komplik komprontasi saya berupaya membeli Kopra dari masarakat. Betapa tidak waktu itu semua kebutuhan sembako terputus yang biasanya di suplay dari Negara singapura serta Malaysia sehingga masyarakat sulit mendapatkan kebutuhan, ujar Wan. Berselang 6 bulan masa transisi, bersyukur bantuan ransum dari pemerintahan RI yang disuplai mengunakan kapal perang bersandar hingga ke pelabuhan Midai.

Ketika konfrontasi terdapat pertukaran makanan secara illegal dengan Singapura dan pelabuhan kecil Sematan di Sarawak, yang diangkut dengan perahu-perahu kecil ukuran mulai 4 ton dan yang paling besar hanya 40 ton. Dalam masa konfrontasi pula mulai banyak hubungan perniagaan dengan Kalimantan Barat melalui pelabuhan Singkawang dan Pemangkat dalam Kabupaten Sambas kembali terjalin. Walaupun selama ini betapa pedih derita, namun akhir-akhir ini Natuna dipandang sangat berpotensi kerana terdapatnya minyak dan gas. Paling penting pula hasil emas hijau, bunga cengkih, yang mengundang kedatangan pengusaha besar dari Jawa ke Natuna. Datang pula kapal-kapal dari Taiwan, Hong Kong, dan Thailand memburu ikan di laut Natuna, ada yang secara sah (legal) tetapi lebih banyak yang bercorak illegal. Ada perniagaan ikan hidup, ada ikan mati yang diawetkan. Ada yang langsung ditangkap di laut, ada pula tempat-tempat pemeliharaan. Pendek kata dirumuskan bahawa semuanya serba lengkap dan moden.

Sejarah Singkat
Tengku Ali lahir di Pulau Penyengat (Riau) tahun 1874 M. Wafat di Pulau Midai, Kepulauan Riau, 9 Rejab 1374 H/ 3 Maret 1955 M. Perniagaan Kerabat Diraja Riau-Lingga dicetuskan oleh Raja Haji Ahmad bin Raja Haji Umar, dimulai di Pulau Midai tahun 1324 H/ 1906 M. Tahun 1330 H/1912 M Raja Ali/Tengku Selat menerima penyerahan pimpinan Syarikat Ahmadi & Co. Midai daripada Raja Haji Ahmad, kerana Raja Haji Ahmad akan berangkat pindah ke Mekah.

Tanggal 28 Rejab 1332 H/1913 M surat nomor 91 dan nomor 92 Raja Ali mengirim surat kepada Raja Haji Ahmad di Mekah, bahwa beliau akan mengembangkan perniagaan Syarikat Ahmadi & Co. Midai di Singapura. Dengan Akta, Midai 1 Syaaban 1333 H/14 Jun 1915 M ditetapkanlah untuk membuka cawangan Ahmadiah Pulau Tujuh di Singapura yang berpejabat di Palembang Road 18 B. Aktivitas perniagaannya merupakan agensi pengumpulan hasil bumi dan laut, selanjutnya aktif dalam eksport dan import berbagai jenis barangan. Kemudian pindah ke Minto Road 50. Pada hari Jumaat, 22 Rabiulawal 1339 H/3 Disember 1920 M mufakat pula mendirikan percetakan. Perusahaan di Minto Road 50 itu berkembang terus dan pada tahun 1926 M Ahmadiah membeli sebuah rumah nombor 82 Jalan Sultan Singapura, kemudian nomornya diganti menjadi nomor 101 Jalan Sultan.


Sumber : Riky Rinovsky / kompasiana / 09 January 2011

No comments:

Post a Comment