![]() |
Dapoer Cik Milah Natuna |
![]() |
Dianterin langsung |
![]() |
Bubur Lambuk dan Nasi Dagang |
![]() |
Teh Unyot dan Teh Serai |
karena ucapan kadang terlupakan.
![]() |
Dapoer Cik Milah Natuna |
![]() |
Dianterin langsung |
![]() |
Bubur Lambuk dan Nasi Dagang |
![]() |
Teh Unyot dan Teh Serai |
Burung besi yang ku tumpangi mulai lepas landas dari Hang Nadim, meninggalkan kepulauan Melayu, terbang menuju barat mencari kitab suci. Aku sengaja memilih kursi di jendela, karena pada penerbangan kali ini ku begitu antusias, bukan karena untuk mengambil gambar yang biasa jadi bahan feed IG dari atas pesawat, namun karena tujuan pesawat ini.
Penampakan di bawah selama lebih kurang 60 menit penerbangan ini didominasi oleh daratan luas pulau Sumatera yang masih tampak hijau. Agak berbeda dengan beberapa penerbangan ku sebelum-sebelumnya yang didominasi hamparan laut biru.
Burung besi yang ku tumpangi kali ini akan membawa ku pada suatu tempat, yang baru dua kali ku injakkan kaki di sana. Tempat dimana ulama hingga tokoh-tokoh besar dilahirkan, tempat dimana saksi perjuangan ditampakkan, tempat dimana adat dan budaya dipegang erat, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah: Ranah Minang, tanah leluhur.
![]() |
Kampuang den, Sumatra Barat |
Sambil menunggu bagasi di ruang tunggu, kami bertemu dengan panitia dan beberapa peserta kegiatan. Ohya, perjalananku kesini dalam rangka menghadiri kegiatan yang diadakan di Kabupaten Sijunjung. Setelah urusan selesai, kami menaiki bus yang ditentukan panitia. Roda bus berputar keluar dari bandara, menuju Kabupaten Sijunjung. Jarak dari BIM ke Sijunjung sekitar 150km, jika waktu normal, perjalanan ditempuh dalam waktu kurang lebih 3 sampai 4 jam perjalanan.
![]() |
Gass menuju Sijunjung |
Aku kembali memilih di jendela, menyandarkan kepala pada dinding kaca bus sambil melihat sekeliling. Melihat alam minangkabau, membuka memori masa kecilku tentang kampung leluhurku ini. Saat pertama pergi, usiaku baru 6 tahun, belum menyadari banyak hal. Ssaat itu aku hanya ingat, kami ke Padang, tempat keluarga nenek, bermain ke Jam Gadang, dan ke pantai Air Manih (tapi tak ke patung Malin Kundang nya). Lalu lanjut lagi ke Bukit Tinggi, kampung keluarga inyiak (kakek). Bermain ke kebun binatang dan taman bermain di sana. Bertemu saudara-saudara dari keluarga ayahku, yang aku sudah lupa namanya.
Bus terus melaju melewati jalan raya yang sedikit lengang. Singgah sebentar untuk istirahat makan siang, bukan di Rumah Makan Padang, tapi masakannya full khas RM Padang. Memang jarang ditemukan RM Padang di Sumatera Barat, sebab masakannya sudah menjadi bagian dari budaya, sehingga tidak perlu lagi melabeli "RM Padang" di rumah-rumah makannya.
Nasi Kapau jadi pengganjal perut di hari pertama ini. Sambil berkenalan dengan beberapa peserta kegiatan lain yang berasal dari berbagai tempat di seluruh Indonesia. Setelah makan siang, kami lanjut ke perjalanan ke Sijunjung.
Perjalanan ke Sijunjung ternyata cukup jauh, kami berhenti di beberapa titik, Baik untuk buang hajat dan belanja makanan ringan untuk dikunyah selama perjalanan. Kami juga melewati tikungan yang sedang viral-viralnya: Sitinjau Lauik. Jalanan ekstrim ini kerap kali lewat di beranda media sosial saya, dan akhirnya bisa lewat secara langsung, dan memang benar-benar ekstrim dan ngeri-ngeri sedap.
![]() |
Melewati Sitinjau Lauik |
Setelah semua kegiatan selesai, kami kembali ke tempat menginap, dan rebaaaaah. Akumulasi rasa letih selama 12 jam total perjalanan ditumpahkan di kasur tempat menginap. Mengumpulkan tenaga untuk mengikuti kegiatan besok, dan beberapa hari ke depan.
Hari kedua di Gumi Sasak. Kegiatan masih berlangsung dalam ruangan utama. Beberapa peserta lain berada di ruangan pameran, dan beberapa lagi tidak tau entah kemana alias tidak berada di ruang utama, maupun ruang pameran. Dan saya, akan termasuk dalam kategori ketiga, karena berencana keluar hotel setelah kemarin malam googling mengenai tempat-tempat menarik.
Berbekal google map dan aplikasi ojek online, saya mengitari kota Mataram yang masih terasa sejuk meski matahari sudah mulai meninggi. Lokasi pertama adalah pasar mutiara Lombok, ini request dari orang rumah yang sedari pagi sudah wanti-wanti bahkan langsung mengirimkan lokasinya. Tapi jadi tujuan yang perlu dicatat untuk dikunjungi. Kemudian berlanjut ke Museum Daerah NTB yang terletak di jalan Panji Tilar Negara. Museum selalu menjadi top list tempat yang harus saya kunjungi ketika mengunjungi tempat baru.
![]() |
GIC Rinjani Lombok |
Dari GIC saya bertolak ke Mataram Islamic Center, yang lokasinya sangat dekat dengan hotel tempat kami menginap, sekaligus tempat acara dihelat. Masjid Hubbul Wathan namanya, terletak di pusat kota menjadikan Islamic Center ini mudah dijangkau. Berdiri di atas lahan seluas kurang lebih 7 hektar, Mataram Islamic Center ini terdiri dari 4 lantai dan 5 menara. Salah satu menara memiliki tinggi 99 meter yang mewakili nama-nama Allah, asma'ul husna.
![]() |
Mataram Islamic Center |
Setelah perjalanan singkat tadi, saya kembali ke hotel untuk beristirahat. Sembari menunggu kegiatan ini yang mengirim saya ke tempat ini: Kongres 1 Indonesian Geopark Youth Forum (IGYF). Kegiatan perdana dalam menentukan pimpinan eksekutif dari organisasi yang telah kugeluti selama kurang lebih setahunan ini.
Hari ketiga, rangkaian kegiatan di Lombok masih berlanjut, dengan agenda terakhir yaitu site visit. Kali ini penyelenggara mengajak kami menuju ke beberapa gili yang ada di sebelah timur pulau ini. Gili berarti pulau. Lombok sudah terkenal sekali dengan Gili Trawangan nya. Namun kali ini penyelenggara akan mengajak ke gili-gili yang lain. Antimainstream memang, namun saya pikir ini merupakan sebuah trik untuk mengenalkan Lombok agar tak hanya Gili Trawangan saja yang dikenal.
![]() |
Gili Petagan dan Gili Bidara |
Sambil-sambil bercerita dan berbagi banyak hal, telinga saya ter-autofokus mendengar salah seorang berbicara dengan bahasa sasak kepada temannya. "Ndekwah", begitu lafaznya, seketika saya memberhentikan percakapan mereka dan bertanya.
![]() |
Gili Kondo dan Gili Pasir |
"tadi barusan bilang "ndekwah", apakah artinya itu tidak pernah?"
"iya, kok tau bang", jawab mereka dan kembali bertanya.
Ndekwah juga memiliki arti yang sama dengan bahasa Melayu Natuna, yaitu tidak pernah. Sebuah percakapan singkat dengan awalan kata "ndekwah" menjadi cerita panjang setelahnya. Perbincangan tentang pertukaran budaya antara Melayu Natuna dan Sasak di Lombok. Kata "ndek" sebelumnya sudah pernah saya dengar saat diajak oleh senior kampus saya yang juga berdomisili di sini ketika kami makan ayam taliwang, masakan khas Lombok. Namun "ndekwah" ini memiliki makna tersendiri bagi saya, dua pulau yang berjarak ratusan kilometer memiliki kesamaan kata dan makna. Barangkali ada kesamaan dalam hal tertentu yang terjadipada masa lampau.
Bukan lebay, namun ini tentang rasa saja. Dan saya yang sepertinya harus kembali mempelajari sejarah mengenai bahasa-bahasa di Nusantara. Barangkali "ndekwah" adalah salah satu dari sekian banyak kesamaan bahasa antara Melayu Natuna dan Sasak di pulau Lombok ini.
Geopark Rinjani Lombok memberikan pengalaman baru. Kesan pertama yang begitu "menggoda", semoga bisa kembali ke Gumi Sasak ini, kelak. Sampai jumpa lagi.