Monday, June 29, 2015

Surat Rindu Untuk Ayah

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ayahku tercinta, semoga kau selalu sehat dalam lindungan Allah Ta'ala, aamiin.
Aku menulis ini dengan penuh rasa kasih dan sayang, setiap huruf ini mewakili seluruh rasa rinduku kepadamu. Setiap kata ini mewakili getar hati yang selalu tertuju untuk bercengkrama denganmu. Bukannya aku tidak mau mengirimkan via pesan BBM atau langsung menelponmu, terlalu panjang untuk menceritakan kisah ini. Yang hanya bisa aku bagi lewat tulisan sederhana ini. Banyak cerita yang ingin kuutarakan padamu.

Ayah,
Alhamdulillah, aku sudah diterima bekerja disebuah perusahaan. Aku sangat senang, dan aku akan bertekad untuk terus bekerja dan berusaha lebih baik lagi. Aku yakin kau juga senang melihatku sudah dengan kesibukan rutinku. Aku bangun pagi, mandi, berangkat kerja, pulang sore hari, dan istirahat dimalam hari. Siklus hidup seperti itu terus kulakukan selama beberapa bulan ini. Namun ada sesuatu hal yang sering membuatku berfikir kala aku bekerja seharian, pulang dalam keadaan letih yang teramat sangat.
Lelah pulang kerja,via modifikasi.com
Rasanya tidak sanggup untuk bekerja dengan rutinitas seperti ini. Namun sejenak nurani berfikir, inikah yang selalu kau lakukan setiap hari? Kau bekerja setiap waktu dari aku kecil hingga bisa mengantarkanku menjadi sarjana.

Dulu, aku hanya tau minta uang, minta uang dan minta uang saja, tanpa pernah mengetahui beratnya pekerjaan yang kau lakukan seharian, untuk memenuhi kebutuhanku. Pernahkah kau mengeluh ayah?


Ayah, izinkan sejenak aku mengingat kenangan ini dari belakang
Masih teringat ketika aku kecil kau menaikkanku di atas pahamu sembari mengendarai sepeda motor, jalan-jalan berkeliling menikmati indahnya senja di kampung halaman kita. Masih ingat aku saat kau menggendongku menuju tempat tidur ketika demam menyerangku. Dan juga masih terasa hangat tangan letihmu mengusap punggungku sebagai syarat agar aku bisa tidur lebih awal.


Saat aku bersekolah, sifat Ayah sedikit berubah.
Ya, aku mulai diajari disiplin, saat pulang sekolah harus ganti baju seragam, jangan keluar rumah saat tengah hari, mengucapkan salam ketika hendak bermain di rumah teman, jam 4 harus mandi sore, dan banyak lagi. Dan kau juga orang yang pertama yang memarahiku saat aku kedapatan aku main kotor-kotor khas anak-anak. Dalam benakku saat itu adalah "kau jahat!!!".
Tegas, via meetdoctor.com
Kau juga orang pertama yang menanyakan aku kenapa bolos mengaji TPA, dan dengan sigap menyuruhku mengganti baju koko serta mengantarkanku pergi mengaji di masjid. Tak jarang setengah jam sebelum pelajaran selesai telah ku jumpai engkau menunggu untuk menjemputku. Ayah.


Saat remaja menghampiriku......
Saat usiaku menginjak remaja, darah muda mengalir deras dengan segala kecongkakannya. Membangkang, melawan, dan sifat buruk yang lain sering kutunjukkan pada Ibu dan engkau. Namun engkau hanya diam saja. Aku yakin dadamu sesak menahan rasa marah akibat apa yang telah kuperbuat.
Khawatirnya sang ayah, via dunia.news.viva.co.id
Aku mulai mencoba meminta izin untuk keluar malam bersama sejawat-sejawatku, dan kau juga yang menelpon ketika jarum jam mendekati angka 10 malam, menanyakan kabarku dan menyuruhku cepat pulang karena kau mengkhawatirkan keselamatanku. Terkadang aku menggerutu dalam hati, bahkan pernah terlintas berkata "ayah selalu menahan kebebasanku".

Ketika aku memutuskan untuk pergi merantau...
Ini adalah kali pertama kita berdiskusi, serius. Ketika aku minta pendapat tentang jurusan yang hendak aku ambil saat kuliah nanti. Dan ternyata berbeda dengan apa yang selama ini kau dan ibu harapkan. Aku mencoba berusaha meyakinkanmu akan pilihanku, kita berdiskusi panjang dan akhirnya akulah yang menjadi pemenangnya. Kau menyetujui pilihanku dan mengizinkan ku merantau ke Jawa untuk melanjutkan cita-citaku. Jelas, aku senang sekali, dan aku berfikir akan bebas ketika kuliah.
Yes, aku menang. via adityawikandaru.wordpress.com
Aku masih ingat pesanmu kepadaku agar jangan terlibat narkoba serta aliran radikal yang sedang marak di negeri ini. Dan sebelum berangkat kau memanggilku di kamar, untuk menyerahkan segala dokumen-dokumen penting milikku, ternyata selama ini kau menyimpannya. Ini merupakan saat yang tepat bagimu menyerahkan segala milikku untuk ku jaga sendiri, itu berarti kau sudah mempercayaiku sepenuhnya.

Saat mengantarkanku kembali ke perantauan, di bandara, ibu dengan eratnya memelukku, hingga mencurahkan air mata di bahuku, mencium pipi kanan dan kiri ku. Aku pun tak kuasa menahan tangis, dan ku peluk erat ibu yang sedang tersedu. Hal yang sama juga ingin ku lakukan padamu, tapi ku lihat kau tak seekspresif Ibu. Kau hanya menerima ciumanku di tanganmu, dan membiarkan hanya sebentar bagiku untuk memelukmu, ya hanya sebentar saja, sambil mengusap kepala ku, dan membiarkan ku pergi menuju pesawat.
"Dan aku menyadari, kau ingin sekali melakukan apa yang seperti Ibu lakukan, namun kau hanya ingin menjaga emosimu."

di Negeri orang...
Aku belajar mandiri, semua ku lakukan sendiri, mulai terbiasa dengan lingkungan baru, terkadang aku lupa menghubungi mu. Aku tahu di sana kau menanti kabar dari ku, sedang aku asyik saja dengan kegiatanku sendiri. Namun ketika kau merasa "kalah", akhirnya engkau duluan yang menghubungiku, hanya sekedar menanyakan kabarku dan apa yang kulakukan hari ini. Ayah menghubungiku memang tak sesering ibu, tapi aku yakin engkaulah yang mengingatkan ibu untuk menghubungiku.
Nelpon minta duit, via www.123rf.com
Hinanya aku dulu, yang hanya menghubungi ketika uang di dompetku sudah menipis akan habis, aku sadar engkau senang mendapat telepon dari ku meskipun dengan percakapan singkat yang intinya minta ditransferkan uang bulanan. Dengan segera kau lakukan agar aku tak mati kelaparan di rantau orang. Ketika aku menelpon di bulan yang sama untuk meminta uang kuliah, pun segera kau turuti.
Kata-katamu yang tak pernah kulupa :
"kalau untuk pendidikanmu nak, berapapun banyaknya, ayah akan berusaha untuk mencukupinya"
Tidak ada yang spesial barangkali dengan kata-kata itu, namun tiap kali mengingatnya aku gemetar, kadang tak jarang mengeluarkan air mata.

Telat menyadari...
Setelah dewasa dan bekerja, barulah aku sadar beginilah caramu memenuhi kebutuhan kami, bekerja seharian demi mecukupi apa saja yang kami pinta. Aku yang baru beberapa bulan saja rasanya sudah tak sanggup lagi untuk meneruskan, namun kau lah alasanku agar tetap terus bertahan.

Aku penggemarmu
Ya benar, engkaulah idola ku. Aku sangat ingin menjadi sepertimu. Engkau pemain bola, aku juga ingin menjadi pemain bola, engkau suka bersepeda, aku juga suka. Apapun, apapun ayah, aku ingin menjadi sepertimu.

Bijak dalam bertindak, sabar dalam mengajari, wibawa dalam keseharian, tegas dalam keputusan, selalu merasa cukup, dan penyayang yang tak tergambarkan.


Satu Pintaku......
Ayah, bahagiamu adalah hal yang senantiasa ku pinta kepada Allah. senangmu senantiasa ku nanti. Satu pintaku ayah, tetaplah sehat hingga nanti aku bisa membalas segala jasamu, memang tak bisa semua, tapi aku harap aku bisa melakukan yang terbaik untuk mu dan Ibu.


Salam dari Bujang mu dengan rindu yang tak terbendung. :)

2 comments: