Wednesday, September 2, 2015

1 September : Surakarta Masuk ke Republik Indonesia #hariinidalamsejarah

1 SEPTEMBER : DIMANA ISTIMEWANYA?

Belum banyak pihak yang paham bahwa para raja Dinasti Mataram Islam di Surakarta ikut berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Sejarah mencatat bahwa sebelum era perang kemerdekaan, Sri Susuhunan Pakubuwana X adalah penyokong utama perjuangan Sarekat Islam (SI). Begitu pula Sri Paduka KGPAA. Mangkunagara VII yang menjadi lokomotif perjuangan Boedi Oetomo. Keduanya mengerahkan pemikiran, materi dan pengaruh secara optimal dalam memperkuat organisasi pelopor pergerakan nasional itu.

Episode sejarah berlanjut pasca proklamasi kemedekaan Republik Indonesia, Sri Susuhunan Pakubuwana XII dan Sri Paduka KGPAA. Mangkunagara VIII membawa perubahan besar dalam sejarah Dinasti Mataram Islam serta Indonesia, dengan mengakui kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bahkan menggabungkan diri dengan negara baru ini. 
Lambang Kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat (kiri) dan Kerajaan Praja Mangkunagaran (kanan)

Surakarta yang secara historis, birokrasi, finansial, infrastruktur, militer, sumber daya dan hubungan internasional sebenarnya berhak serta mampu menjadi negara berdaulat tersendiri, justru mempelopori dukungan bagi persatuan Indonesia. Dukungan itu ditunjukkan Sri Paduka KGPAA. Mangkunagara VIII dengan mengeluarkan maklumat pada tanggal 1 September 1945 yang berisi:

  1. Bahwa Keradjaan Mangkoenagaran soeatoe daerah istimewa daripada Negara Repoebliek Indonesia.
  2. Bahwa semoea oeroesan pemerintahan dalam Keradjaan Mangkoenagaran kini ditetapkan dan dipimpin oleh Pemerintah Mangkoenagaran sendiri dengan mengingat peratoeran Repoebliek Indonesia.
  3. Bahwa perhoeboengan Pemerintah Keradjaan Mangkoenagaran dengan Pemerintah Repoebliek Indonesia bersifat langsung.

Selain itu Sri Susuhunan Pakubuwana XII dan Sri Paduka KGPAA. Mangkunagara VIII juga menyumbang dalam jumlah besar kekayaannya sebagai modal perjuangan republik. Tindakan berani beliau ini kemudian diikuti pula oleh koleganya di Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka KGPAA. Pakualam VIII, yang memutuskan ikut bergabung serta menyokong Republik Indonesia dengan Maklumat 5 September 1945. Realita inilah yang melatarbelakangi keputusan pemerintah republik untuk menganugerahkan gelar “Daerah Istimewa” bagi Surakarta dan Yogyakarta.

Susuhunan Paku Buwana XII dan Sri Paduka KGPAA. Mangkunagara VIII lalu diberi kewenangan oleh pemerintah republik untuk tetap memimpin Surakarta yang sejak itu bernama resmi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).

Namun sayang, saat itu Surakarta adalah salah satu basis Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI berhasil menghasut sejumlah besar masyarakat untuk menolak status DIS dengan alibi bahwa rakyat tak butuh lagi sistem feodalisme yang telah bercokol ratusan tahun lamanya di Surakarta.

Menghadapi manuver PKI itu, para pendukung Swa-Praja Mangkunagaran sempat mengadakan rapat pada 16 Oktober 1945 dan menghasilkan “Maklumat Pegawai Negeri Mangkunagaran”:

  1. Hamba sekalijan pegawai Negeri Mangkoenagaran berdjandji dan selaloe setija terhadap Seri Padoeka Mangkoenagoro VIII beserta Pemerintah Negeri Mangkoenagaran, dan berdjandji setiap waktoe bersedia menoeroet dan mengerdjakan semoea atoeran dan perintah Seri Padoeka Mangkoenagoro VIII beserta pemerintah Negeri Mangkoenagaran.
  2. Hamba sekalijan pegawai Negeri Mangkoenagaran berdjandji djoega diikoetkan oentoek rasa tanggoengdjawab akan memelihara dan mempertahankan Swapraja kemerdekaan Negara Repoebliek Indonesia jang berdasarkan kedaoelatan rakyat.
  3. Hamba sekalijan pegawai Negeri Mangkunegaran berdjandji bersikap dan berdjendjak seksama sebagai warga Negara Indonesia dan menentang segala kekoeasaan asing jang hendak memerintah dan mendjadjah Indonesia merdeka, TANAH AIR KITA.
Tetapi upaya tersebut ternyata tidak mampu mengatasi konflik yang sudah terlanjur terjadi di Surakarta. Di tengah kekacauan itu pemerintah republik justru mengeluarkan maklumat pada tanggal 23 Mei 1946 yang berisi bahwa pemerintah pusat akan menempatkan seorang wakilnya di Surakarta untuk sementara waktu. Wakil pemerintah Indonesia yang bernama Suryo (nantinya menjadi Walikota pertama Surakarta) sejak 27 Mei 1946 datang ke Surakarta untuk mengatur keadaan yang rumit disana. Tindakan pemerintah Indonesia dengan menempatkan seorang wakilnya tersebut, oleh Sri Paduka KGPAA. Mangkunagara VIII kemudian disambut dengan mengeluarkan maklumat pada tanggal 25 Mei 1946:

“Tindakan Pemerintah Agoeng menempatkan oentoek sementara seorang Wakil Pemerintah (P.T. Soerjo) di Soerakarta, jang akan mendjalankan pemerintahan di seloeroeh Soerakarta itoe, sama sekali tidak berarti akan mengoebah adanja daerah dan adanja pemerintah Mangkoenagaran, karena maksoed Pemerintah Agoeng dengan tindakan itoe semata-mata hanja goena melenjapkan kekadjoean di kalangan rakyat jang disana sini soedah terdjadi, djadi soepaja semoeanja selekas-lekasnya kembali tenang dan tentram lagi.”

Dari maklumat tersebut terlihat jelas usaha Sri Paduka KGPAA. Mangkunagara VIII dalam mempertahankan legitimasi kekuasaannya. Namun situasi justru makin tak terkendali sejak pindahnya ibukota republik ke Yogyakarta. Kelompok oposisi pemerintah (PKI) semakin menjadi-jadi menggaungkan gerakan anti Swa-Praja. Sri Paduka KGPAA. Mangkunagara VIII kemudian mengeluarkan maklumat lagi pada tanggal 20 Maret 1946 yang berisi:

Bahwa Pemerintah Mangkoenagaran akan mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap golongan jang

  • Menjiarkan berita ataoe melakoekan perboeatan-perboeatan jang dapat menggelisahkan ataoe mengatjaoekan masjarakat
  • Menjiarkan berita ataoe melakoekan perboeatan dengan maksoed mengadakan perpetjahan dalam masjarakat
  • Menghambat oesaha dalam menjempoernakan pertahanan negara.

Maklumat tersebut memang akhirnya tak dapat mengurangi intimidasi gerakan anti Swa-Praja terhadap pihak kerajaan. Gerakan anti Swa-Praja justru semakin bertambah kuat setelah Kepolisian Daerah Surakarta menyatakan lepas dari pemerintahan Kasunanan dan Mangkunagaran serta menyatakan berdiri sebagai bagian langsung dari keanggotaan Kepolisian Republik Indonesia. Hal yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Surakarta tersebut kemudian diikuti oleh instansi-instansi daerah yang lain, sehingga kekuatan pihak pro Swa-Praja semakin berkurang dan lemah.

Gerakan anti Swa-Praja juga melakukan berbagai tindakan kriminal, seperti menculik Kanjeng Raden Tumenggung Reksanegara (Bupati Boyolali) dan Raden Tumenggung Candranegara (Bupati Anom Boyolali). Penculikan juga dilakukan terhadap Wakil Bupati Klaten (Raden Tumenggung Pringganegara). Setelah menculik para pejabat kabupaten tersebut, gerakan anti Swa-Praja kemudian menggantikan kedudukan tersebut dengan orang-orang golongan mereka dan mengeluarkan pernyataan putus hubungan dengan pemerintah Swa-Praja Surakarta.

Rakyat pun semakin termakan hasutan PKI yang berakhir dengan tindakan anarkis pembakaran Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Hal ini memaksa Sri Susuhunan Paku Buwana XII menyerahkan kembali mandat kepala daerah kepada Presiden Sukarno, dimana akhirnya presiden memutuskan bahwa DIS (wilayah seluas eks-Karisidenan Surakarta pada zaman Belanda) dilebur ke dalam Provinsi Jawa Tengah. Wilayah Mangkunagaran secara hukum di Surakarta juga dihapus berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta pada tahun 1952.

Walau kini nasib Dinasti Mataram Islam di Surakarta tak sebaik koleganya di Yogyakarta yang tetap berhasil memimpin rakyat secara De Jure, Kasunanan dan Mangkunagaran berhasil membuktikan konsistensinya dalam mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Hal tersebut diwujudkan tak hanya dengan hadirnya ratusan tokoh terbaik di bidangnya dalam membangun negeri ini, tapi juga dengan tetap berperan aktifnya kedua kerajaan sebagai pusat kesenian dan kebudayaan masyarakat, menjaga nilai-nilai luhur yang makin tergerus oleh budaya asing.

Sri Susuhunan Paku Buwana XIII dan Sri Paduka KGPAA. Mangkunagara IX di masa ini tetap terbukti menjadi raja Jawa yang disegani dan dihormati masyarakat, serta dibutuhkan nasehatnya oleh para tokoh nasional. Generasi muda mungkin banyak yang memandang sebelah mata arti 1 September 1945, lalu apakah di masa mendatang status keistimewaan Surakarta dapat dikembalikan? Perlu kajian konstitusi mendalam terkait hal ini. Semoga bangsa ini diarahkan Allah Ta'ala agar bijak dan adil pada sejarahnya.





Tulisan R. M. Bagus Pratomo Ryagede
(Ketua Garda Mangkunagaran Cabang Jawa Tengah & DI Yogyakarta)

No comments:

Post a Comment